Liberalisme, Relativisme, Multikulturalisme bukan solusi toleransi beragama



Ditulis oleh Rifqi Azhar Nugraha[1]
Sumber Gambar: Google
Akhir – akhir ini masyarakat islam di Indonesia kembali terombang – ambing oleh arus media, banyak sekali aktifis islam yang tidak tahu arah harus berjuang seperti apa. Banyak pemuda yang ingin maju ke garis depan, namun tidak mempunyai bekal untuk itu. Banyak pula para ulama yang berada di garis belakang, padahal mereka sudah punya cukup ilmu untuk melawan kekacauan yang ada.
Saat tanggal 1 Januari 2000 M, ilmuwan menetapkan bahwa mulai sejak itu adalah hari bangkitnya millennium, atau kita sebut dengan abad millennium. Sebagai mahasiswa Teknik Informatika saya paham betul arti dari sebutan itu, namun sebagai aktifis islam saya lebih suka menyebutnya sebagai abad berpikir. Bukan berarti tahun – tahun sebelumnya manusia tidak berpikir, tapi pada jaman ini mulai banyak pemikiran – pemikiran baru yang justru semakin menjauhkan kepada kebenaran Allah yang esa. Maka para ulama dan aktifis islam menyebut jaman ini adalah jaman Ghazwul Fikri (Perang Pemikiran). Disebut perang pemikiran karena banyak sekali pemikiran-pemikiran yang mengatas namakan kebenaran, pemikiran yang menjelaskan harus bagaimana agama Islam dijalankan, bahkan ada pula yang menyebutkan tidak perlu adanya agama, walaupun itu Islam.
Ada pula yang berpendapat bahwa tidak ada agama yang paling benar, dan semua agama sama-sama dalam kebenaran, hanya berbeda cara beribadahnya saja. Seseorang bisa memperlakukan agama seperti pakaian, suatu hari kita bisa berganti pakaian itu bila sudah kusut dan bau.  Hal ini jelas-jelas sudah mengingkari kalam Allah dalam Qur’an Surat Ali – Imran ayat 19:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Namun para liberalis mengganti kata Islam dengan Hanif, yakni pasrah kepada Tuhan. Mereka mengganggap Islam sudah tidak efektif lagi bagi umat manusia untuk diteladani, menurut mereka untuk permasalahan di zaman ini Islam sudah tidak bisa memberikan solusi, Islam cenderung menyikapi persoalan dengan kekerasan. Padahal hanya sebagian orang saja yang melakukan kekerasan atas nama Islam, itupun karena mereka tidak paham betul Islam secara kaffah (menyeluruh).
Mereka berpendapat, kebeneran manusia itu relativ dan semua manusia harus mempercayai kebenaran yang datang dari agama lain. Ini jelas-jelas sudah menghina Allah yang telah menyempurnakan kitab-kitab-Nya dengan turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. jika mereka mengaku Islam dan mengimani Allah dan Rasul, seharusnya hal itu tidak ada dalam pikiran mereka, apalagi sampai dijadika fatwa seperti ini. Mereka memperindah kalimat doktrin “tidak ada agama yang paling benar” dengan sebutan “toleransi”, jika toleransi memang seperti itu berarti mereka sudah menjastifikasi kepada Rasulullah Saw. dulu saat berdakwah tidak memiliki sifat toleransi, itu sudah termasuk penghinaan kepada Rasulullah.
Allah telah memberikan kita pengetahuan atas sikap toleransi yang sebenarnya dalam QS. Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmulah agama mu, dan untukkulah agama ku”
Jadi, tidak sah apabila seseorang mencari ilmu agama Islam dari para orientalis kafir di Amerika, Kanada, dan di tempat lainnya. Karena bukan ilmu yang didapat, tetapi doktrin pemikiran yang akan menjadikannya budak-budak orientaslis.[2]
Virus Relativisme ini cukup marak di Indonesia, tidak hanya ditataran kampus, namun siswa setingkat SMA pun didoktrin bahwa tidak ada kebenaran yang benar-benar mutlak, yang ada hanya pemikiran manusia yang tidak tahu kebenarannya. Nyatanya saat orientasi pengenalan akademik di tingkat kampus, sering kali para mentor bertanya kepada mahasiswa baru, “Kebenaran itu seperti apa, dan bagaimana?” atau “Benar menurut siapa? Dan baik menurut siapa?”. Sebenarnya tidak salah mempertanyakan objektifitas suatu permasalahan, namun ketika sudah meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini, lalu apa yang akan diperjuangkann jika kebenaran tidak diyakini?
Jika seorang pria ditanya, “Apakah jenis kelamin anda laki-laki?” apakah mungkin pria itu menjawab relativ? Sungguh relativisme tidak masuk akal dan konyol. Setelah Joko Widodo diangkat menjadi presiden Republik Indonesia, tidak lama kemudian harga Bahan Bakar Minyak naik, esoknya setelah berita BBM dinaikkan banyak mahasiswa yang berunjuk rasa. Itu satu bukti bahwa mahasiswa tersebut meyakini kebenarannya bahwa BBM tidak seharusnya naik. Berbeda dengan kaum relativisme, mereka tidak yakin sama sekali apakah BBM harus naik atau tidak, maka dari itu mereka tidak bisa memperjuangkan apapun, dan hanya menunggu kiamat tiba.
Sebab munculnya paham ini dijelaskan oleh Dr. Adian Husaini sebagai berikut: “Teori ilmu yang telah berkembang di Barat termanifestasikan dalam berbagai aliran seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, agnotisisme, positivism, objektifisme, subjektifisme, dan relativisme. Aliran-aliran semacam ini setidaknya berimplikasi sangat serius dalam; pertama, menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisik, mengosongkan manusia, dan kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan manusia; kedua, melahirkan dualisme, manusia terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tak dapat dipersatukan, dunia-akhirat, agama-sains, tekstual-kontekstual, akal-wahyu dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia sebagai makhluk yang terbelah jiwanya.
Sebagai solusi alternative atas bencana implikasi peradaban materialis-sekuler yang anti Tuhan ini diperlukan deweternisasi dan Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer. Dewesternisasi bukanlah dipahami sebagai gerakan anti Barat dan perdabannya. Fakta menyatakan mereka telah menjadi pemegang kendali peradaban saat ini. Dewesternisasi adalah membersihkan berbagai pernik peradaban masa kini dari unsur-unsur worldview barat yang bertentangan dengan worldview Islam yang tauhidis yang melahirkan implikasi yang sangat serius dan destruktif atas kemanusiaan sejagad.”[3]
Ada lagi satu paham yang mensalah artikan toleransi, mereka menganggap semua agama benar. Bahwa sanya Allah memberikan kebenaran kepada seluruh agama termasuk Islam, hanya saja agama selain Islam berbeda saja cara beribadahnya padahal yang mereka maksud adalah Tuhan yang sama yang kita maksud yaitu Allah. Pemikiran seperti ini jelas-jelas tidak ada landasannya, mereka hanya mengedepankan akal namun justru tidak masuk akal, karena akal mereka sudah tertutup oleh hawa nafsu.
Banyak sekali pesantren di Indonesia yang mendapat bantuan berupa dana dari luar negeri, karena memang pesantren tersebut berpahamkan multikulturalisme, bahkan jika ada santri yang pintar, dia langsung diberi beasiswa untuk sekolah ke luar negeri. Sebenarnya istilah multikulturalisme adalah rekontruksi dari istilah pluralisme yang telah di haramkan oleh MUI, namun karena mereka tidak ingin menyerah begitu saja maka hadirlah istilah ini yang artinya sama saja dengan sebelumnya, yakni membenarkan semua agama.
Salah satu tokoh paham ini yakni Prof UIN Yogyakarta yang bernama Prof. Abdul Munir Mulkhan, ia bahkan dijuluki “Munir Zhanniy”, dalam buku yang berjudul “Dari Teologi Kekerasan ke Teologi Harapan”, ia menulis,
“Secara normatif Islam mengajarkan peduli kemanusiaan lebih penting daripada ritual pada Tuhan. Kesalehan hanya bisa dicapai dengan membela yang tertinda agar ada di pihak Tuhan. Seseorang hanya bisa mengenal Tuhan jika memahami kemanusiaan.
Di sini pentingnya meletakkan ajaran Islam sebagai tafsir relatif teks suci ciptaan Tuhan. Keagamaan dilihat sebagai proses realisasi pemahaman ajaran Tuhan yang tak pernah final, terus hidup, kritis, terbuka, dan kreatif. Kesalehan dilihat dari kepedulian atas kemanusiaan dan pembelaan terhadap yang tertindas tanpa melihat agamanya.”[4]
Betapa bodohnya pemikiran diatas, padahal hal seperti ini sudah terjadi pada jaman Rasulullah Saw. dan Allah yang langsung yang memberikan jawaban dalam QS. Al-Kafirun, belum lagi kalam Allah dalam QS. Al – Baqarah ayat 75:
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”
Semoga saja kita ada dalam lindungan Allah dan diakui sebagai jama’ah Rasul.


[1] Beliau adalah mahasiswa semester 3 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung prodi Teknik Informatika, sedang aktif di Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam Komisariat UIN SGD Bandung, dan tasykil dari Ikatan Pelajar Persatuan Islam tingkat Pusat sebagai Komunikasi dan Informasi
[2] Djamaluddin, Amin. Islam liberali menggugat keaslian Al-Qur’an. LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam). Jakarta. 2010. Halaman 82.
[3] Husaini, Adian. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Gema Insani. Jakarta. 2009. Halaman 167
[4] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005) Halaman 122.
Kutipan ini diambil dari Buku Husaini, Adian. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Gema Insani. Jakarta. 2009. Halaman 186-187

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »