Peradaban Intelektual


Gambar diambil dari Google.com

Oleh: Rifqi Azhar Nugraha[1]
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلَامِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ[2]
Telah menceritakan kepada kami ['Abdurrahman bin Ibrahim bin Ad Dimasyqi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin Bakr] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Jabir] berkata, telah menceritakan kepadaku [Abu Abdus Salam] dari [Tsauban] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk." Seorang laki-laki berkata, "Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?" beliau menjawab: "Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn." Seseorang lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?" beliau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati."
            Rasulullah sangat mengkhawatirkan umat Islam setalah beliau meninggal, yaitu Islam pada masa sekarang. Rasulullah menggambarkan kejadian umat Islam sekarang mengalami disorientasi, umat Islam seolah-olah bingung dengan dunia yang ditempatinya, tidak tahu apa yang harus dilakukan, tersesat dalam pikiran jumud yang menjebloskan kedalam kebodohan. Sehingga wahn tertanam dalam diri setiap muslim yang justru di zaman modern ini, paradigma umat tentang agama kembali primitif walaupun pernyataan yang dinamakan ilmu semakin luas.
            Umat Islam yang dirindukan Rasulullah justru bukan sahabat-sahabatnya pada zaman beliau, tapi umat muslim yang hidup di zaman setelah Rasulullah sudah tidak menyampaikan risalah Allah, namun beriman kepada Allah dan Rasulullah. Hal yang sangat wajar bagi para sahabat yang hidup di zaman Rasulullah lalu mengimani apa yang Rasulullah sampaikan, karena saat itu Rasulullah ada disamping mereka. Menjadi hal yang istimewa bagi umat muslim pada masa ini yang kehidupannya masih berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena umat inilah yang paling Rasulullah banggakan.
            Bila umat Islam lebih cinta dunia dan takut mati atau rasa wahn sudah tertanam dalam hatinya, itu berarti mereka dihinggapi rasa lemah. Pada saat itulah umat-umat lain akan mengeroyok seperti sekumpulan orang yang berebut makanan di sekitar tempayan.[3]
            Sangat disayangkan jika umat muslim pada masa ini justru gelap akan kebenaran agama yang sesungguhnya, mungkin mereka masih ada dalam lampu kuning karena mengamalkan ilmu agama sesuai dengan Qur’an dan Sunnah yang sempat mereka dengar dari para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dikatakan dalam lampu kuning karena mereka belum selesai mempelajari risalah Allah, dampaknya mereka lupa untuk kembali menimba ilmu hingga selesai dan sibuk mengurusi hal-hal yang bersifat rutinitas keduniaan. Dalam hal ini, dapat dikatakan sekularisasi antara ilmu agama dan ilmu dunia, tidak ada larangan untuk menimba ilmu dunia namun salah besar jika meninggalkan ilmu agama yang seharusnya menjadi prioritas kehidupan sebagai tiket masuk surga.
            Tersesatnya masyarakat dalam agama bukan karena mereka masuk aliran sesat saja, namun paradigma mereka terhadap ilmu agama yang mereka pikir sudah selesai. Maka sang Mujahid Dakwah harus segera sadar dan responsif untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat yang jumud dalam berpikir, karena belum bisa disebut sebagai mu’allimin dan mujahid dakwah jika dalam dirinya belum tertanam sifat responsif dan transformatif, karena orang yang berilmu memang harus menjadi pionir untuk mengembalikan perdaban intelektual seperti zaman Rasulullah.
            Peradaban Intelektual dapat diwujudkan dengan me-rekontruksi paradigma masyarakat terhadap ilmu agama, tentu saja hal ini dilakukan dengan cara yang halus seperti seorang pria yang memanjakan tulang rusuknya (baca: istri) agar tidak patah dan seorang ibu yang mengelus kepala bayi. Namun solusi ini tidak bisa dilakukan secara top down, harus egaliter juga karena masih banyak tokoh masyarakat atau yang dipercaya menjadi seorang pembawa perubahan belum memiliki karakter dan aktifitas yang akan penulis sampaikan. Berikut adalah langkah-langkah yang menurut penulis paling efektif:
Membaca
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ[4]
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
            Pribadi Ilmiah adalah hal pertama yang harus ditanamkan dalam diri setiap individu, tidak terlepas apakah orang tersebut masyarakat biasa atau seorang mujahid dakwah. Bisa dikatakan karakter ilmiah adalah jantung dari peradaban intelektual, akan amat sulit untuk mewujudkan kembali peradaban intelektual jika masyarakat tidak berpikir dengan ilmiah dan syarat untuk mempunyai ruh yang ilmiah adalah dibiasakannya budaya membaca.
            Orang-orang Yahudi adalah kaum yang paling tinggi minat bacanya. Mereka membaca buku-buku tebal dengan hardcover. Menurut majalah Reform Jewish, 70% orang Yahudi Amerika membelanjakan uangnya untuk membeli buku hardcover, 39% membeli buku 1-5 judul buku, 9% membeli 6-9 judul buku, dan 17% membeli lebih dari 10 judul buku per tahun.
            Wajar jika kaum Yahudi menganggap diri mereka superior sedangkan kaum yang lain inferior, mereka mengatakan hal itu bukan dengan omong besar belaka namun mereka membuktikannya dengan kebudayaan mereka yang mencintai ilmu pengetahuan. Tidak hanya buku dunia saja yang mereka baca, tentu buku-buku tentang agama mereka pun diprioritaskan, bahkan mereka sering mengadakan pameran buku khusus tentang agama Yahudi. Maka sebagai umat muslim yang yakin bahwa agama Islam adalah petunjuk untuk mendapat ridlo Allah, sebagai Khairu Ummah berarti setiap muslim tidak bisa apatis terhadap ilmu baik agama maupun dunia.
            Hukum universal berlaku dalam hal ini, agar muslim sebagai Khairu Ummah bukanlah omong kosong belaka. Siapa yang gemar membaca, mereka mendapatkan informasi. Siapa yang mendapatkan informasi, mereka mendapatkan pengetahuan. Siapa yang menguasi pengetahuan, mereka menguasai teknologi. dan siapa yang menguasai informasi, pengetahuan, dan teknologi, maka bersiaplah untuk jadi raja dunia! Maka wahyu pertama yang diterima Rasulullah dari Allah lewat malaikat Jibril harus diimplementasikan dengan membaca karena memang redaksi perintah dari Allah adalah Iqra.
            Membaca adalah aktifitas yang dikatakan sulit bagi mereka yang jarang melakukannya, kata sulit adalah kata yang kurang tepat untuk menggambarkan kegiatan membaca bagi mereka, malas adalah kata yang tepat. Kegiatan yang bersifat rutinitas kembali menjadi alasan bagi mereka yang jarang membaca, waktu yang Allah berikan diadu dombakan karena dirasa 24 jam sehari adalah waktu yang singkat dan tidak ada waktu yang cukup untuk membaca didalamnya. Bukankah Allah adalah zat yang Maha Adil? Bukankah alasan yang mensangkut pautkan waktu yang diberi oleh Allah adalah kalimat tidak bersyukur kepada-Nya?
            Salah satu dari empat kategori tentang akhlak manusia yang dikelompokkan oleh para ahli hikmah perlu diperhatikan untuk menyadarkan masyarakat yang malas membaca, yaitu Laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri. Orang yang tidak tahu dan ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang mengalami gegar intelektual, kebodohan pangkat dua (jahil muraqab). Ia adalah tipe manusia “sok tahu”, bangga dengan dirinya sendiri (ujub) dan enggan diberi tahu.[5]
            Rasulullah bersabda: “Iman itu telanjang. Pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah rasa malu, dan buahnya adalah ilmu!”[6] Muadz bin Jabal berkata: “Pelajarilah ilmu, sebab mencari ilmu karena Allah adalah kebaikan, menuntutnya adalah ibadah, mengajarkannya adalah sedekah…”[7]
Berdiskusi
            Malas adalah penyakit hati yang tidak bisa disembuhkan dengan obat, malas hanya dapat disembuhkan oleh dirinya sendiri yang mengidap penyakit ini. Sebagai mu’allimin, yang dapat dilakukan adalah membuat mereka berpikir kritis kembali lewat suasana diskusi.
            Sebenarnya diskusi sering dilakukan oleh semua orang, kalangan pelajar, mahasiswa, pedagang bahkan pengangguran sekalipun, namun tentu saja biasanya dalam bentuk non formal. Diskusi non formal memang wajar dilakukan semua orang karena hal itu adalah fitrah manusia dari Allah yang tak terelakkan, berbeda dengan diskusi formal yang biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang akademis atau organisatoris.
            Pola pikir masyarakat di Indonesia yang fundamental adalah saat kaum tua diposisikan sebagai superior dan kaum muda diposisikan sebagai inferior, paradigma sesat itulah yang menjadi sumber atas mundurnya cara berpikir manusia. Sehingga ketika ada kaum muda yang mempunyai pendapat atau bahkan solusi, dia sering dikatakan oleh kaum tua begini “cing, tong kokolot begog (diam, jangan so tahu)”. Akhirnya ungkapan seperti itu tersimpan dalam ingatan setiap anak dan dia menjadi tidak percaya diri untuk berbicara kepada orang tuanya apalagi di depan umum. Salah satu alasan dari kaum muslim menjadi pribadi yang konsumtif daripada produktif adalah tentang ini, rasa percaya diri.
            Toto Tasmara dalam bukunya Yahudi mengapa mereka berprestasi menulis mengenai solusi teknis agar manusia menjadi sosok Ulul Albab:
·         Berikan motivasi kepada mereka untuk bertanya. Atau kita sendiri yang mengambil inisiatif untuk bertanya dan biarkan mereka menjawab sesuai dengan nalar dirinya.
·         Jangan pernah bosan apalagi membunuh hasrat bertanya dari putra-putri kita. Karena hasrat bertanya adalah api kehidupan yang akan menerangi perjalanan hidup mereka. Hidup di masa datang yang sangat berbeda dengan keadaan hidup kita hari ini.
·         Berikanlah kesempatan kepada mereka untuk melakukan eksplorasi. Misalnya, mendatangi museum bersejarah, menyaksikan peradaban dunia, dan kemudian mintalah kepadanya untuk menceritakan pengalaman yang telah mereka lihat dan pikirkan. Ajaklah mereka berdiskusi untuk mengasah mental spiritualnya.[8]
Penulis posisikan bahasan tentang berdiskusi ini setelah membaca, karena penulis pikir diskusi yang ideal adalah ketika suasana hidup dengan argument yang ilmiah, kritik atas teori, dan tidak terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental. Dan syarat agar suasana diskusi bisa seperti itu adalah dengan membaca terlebih dahulu sebelum diskusi, minimal setiap peserta diskusi telah membaca satu artikel tentang materi yang akan dibahas oleh pemateri. Memang tidak bisa dinafikan, bahwa alasan utama dari sulitnya mendengar pertanyaan atau pernyataan dari peserta diskusi adalah rasa malu yang berlebihan dan tidak pada tempatnya, Karena itu pendekatan emosional antara pemateri dan peserta juga peserta dengan peserta tidak boleh diabaikan. Saat suasana diskusi, pendekatan emosional sangat diperlukan dan dipandang sebagai cara yang efektif untuk menghidupkan suasana diskusi, apalagi saat pemateri mempunyai kedekatan yang intens dengan peserta, maka sudah tidak ada rasa canggung lagi untuk bertanya dan suasananya pun akan lebih komunikatif dan luwes.
Walaupun tadi penulis sampaikan bahwa diskusi ilmiah yang ideal adalah peserta telah membaca terlebih dahulu, namun tetap saja pasti ada peserta yang belum membacanya. Ada 3 alasan, pertama karena dia memang tidak sempat membaca sebelumnya, kedua dia belum mempunyai minat membaca, dan ketiga dia tidak tertarik atas bahasan yang disajikan dan datang menghadiri diskusi dengan orientasi yang salah atau terpaksa. Alasan yang pertama mungkin dapat diterima, tapi berbeda dengan alasan yang lain, sebagai kader mujahid dakwah tentu saja membaca adalah kegiatan yang wajib seperti apa yang telah penulis sampaikan sebelumnya, tapi walaupun begitu biasanya seorang yang cinta akan ilmu akan tergerak hatinya untuk membaca setelah mendengar bahasan dari pemateri, maka hikmah dari berdiskusi adalah lahirnya minat baca bagi peserta. Dan alasan terakhir ini tidak bisa dimanfaatkan, jika terpaksa seharusnya tidak perlu hadir dalam kegiatan ini walaupun kena marah oleh seseorang yang jabatannya lebih tinggi karena peserta yang seperti ini hanya akan merusak mata dan hati pemateri, serta merusak alur dan suasana diskusi. Atau jika ia tidak tertarik pun tidak perlu hadir dalam kegiatan ini, namun ingin penulis tegaskan bahwa antara ilmu satu dan ilmu yang lainnya tidak boleh ada dikotomi, dan antara ilmu agama dengan ilmu dunia tidak boleh disekularisasikan.
Orang lain tidak dapat melihat hati anda dan terkadang tidak memahami raut muka anda, mereka hanya mendengar kata-kata anda, dan setelah itu mereka akan menilai pikiran dan isi hati anda.[9]
Terbiasanya berbicara di depan umum akan membuat manusia menjadi lebih percaya diri, dan dapat dikenal oleh orang-orang banyak. Apalagi jika gagasan-gagasan yang disampaikan luar biasa, akan sangat memungkinkan untuk diminta berbicara di pelbagai acara. Tentu saja semakin dikenal khalayak maka semakin pula dihargai oleh orang lain, dan dengan ini maka manusia tersebut sedang memproklamirkan diri bahwa dirinya ada di dunia ini, maka langkah awal agar pribadi mendapat penghargaan adalah menghargai diri sendiri dengan percaya diri mengungkapkan pernyataan ataupun pertanyaan.
Ilmu yang kita baca sebaiknya divalidasi lewat diskusi, sebab tidak semua buku yang menyajikan ilmu dengan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, dan diskusi akan mengarahkan pembaca dari nalar jumud ke nalar kritis. Bukan untuk mengkritik isi buku lalu menghinanya, tapi membahas teori yang ada di buku tersebut untuk dikritisi agar mendapat solusi yang lebih baik serta tidak ada kesalah pahaman si pembaca, dengan begitu tidak akan ada reduksi saat pembaca menerangkan isi dari buku tersebut. Setelah itu insya Allah ilmu yang kita pahami akan lebih objektif  dan paham paradigma penulis sebenarnya setelah membaca dan berdiskusi tentang gagasan-gagasannya.
Menulis
            Dakwah yang paling penting, namun sering dilupakan seolah dakwah yang seperti ini tidak ada atau bahkan tidak dianggap sebagai dakwah adalah dakwah dengan tulisan. Pemahaman yang salah jika dakwah dianggap sebagai penyiaran agama lewat ucapan, pidato, khutbah jum’at, seminar di auditorium, dll. Banyak sekali buku-buku yang membahas tentang dakwah, namun sayang sekali karena begitu jarang buku yang membahas teori berdakwah lewat tulisan, seolah-olah dakwah dianggap sebagai ibadah dengan lisan saja, padahal penulis yang menerbitkan buku-buku teori berdakwah itu mereka sedang berdakwah dengan tulisan.
            Dakwah adalah seruan untuk mengajak kepada kebenaran-kebenaran dalam islam, baik fiqih maupun muamalah. Tidak hanya dengan ucapan saja, adapun dakwah bik hal dengan perbuatan, dakwah bil mal dengan harta, dan dengan tulisan. Tidak semua orang suka pergi ke masjid atau majelis ta’lim lainnya, dan tidak semua orang juga yang cara belajarnya bersifat auditorial. Ada banyak orang-orang yang lebih senang dengan buku daripada harus mendengarkan, ada pula orang yang sering mengantuk mendengarkan khutbah padahal ia seorang yang pintar karena membaca. Tidak sedikit orang-orang yang diharapkan menjadi kader perjuangan untuk menjadi mujahid dakwah namun tersesat kelembah kegelapan karena buku-buku yang mereka baca tidak sesuai tuntunan Rasulullah.
            Dikalangan kaum intelektual, selain berdiskusi, buku adalah makanan pokok yang selalu dilahapnya setiap saat. Bahkan nasi menjadi makanan pokok nomor dua setelah buku, bukan bermaksud untuk men-Tuhankan buku, namun mereka sadar betul betapa pentingnya membaca, apalagi bagi mereka yang tidak sempat menghadiri majelis ta’lim. Karena itu, dakwah dengan tulisan adalah cara dakwah yang paling efektif selain berbicara di depan umum, tulisan juga hampir mendekati abadi, walaupun sang penulis sudah meninggal beberapa tahun silam, gagasan-gagasannya yang ada dalam tulisan masih bisa dibaca sampai hari ini.
            Selain dengan menerbitkan buku, artikel, atau karya ilmiah. Membuat poster atau selebaran dan ditempelkan di tempat yang tepat adalah bagian dari dakwah dengan tulisan. Banyak sekali orang yang ingin berdakwah dengan tulisan namun ia bimbang karena belum bisa menerbitkan buku bahkan artikel, maka poster adalah salah satu alternatifnya.
            Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu dirahasiakannya maka dia akan datang pada hari kiamat dengan kendali (di mulutnya) dari api neraka.” (HR. Abu Dawud)
            Jika semua orang berdagang dengan produk yang sama maka kemungkinan tidak ada satu orang pun yang membeli produk tersebut, karena tidak mungkin ada orang yang ingin membeli produk padahal produk itu ada di tokonya. Namun berbeda dengan menerbitkan buku, walaupun bahasannya sama akan ada banyak kemungkinan tentang isi dari materi yang disampaikan, bisa berbeda atau hanya bertambah. Dan tidak ada pula penulis yang tidak mempunyai minat baca, maka jika semua orang suka menulis tentu saja orang-orang ini suka membaca.
            Peradaban intelektual akan kembali lahir setelah orang-orang cinta akan ilmu, yang mereka implementasikan dengan membaca, lalu mendiskusikan apa yang mereka baca, lalu menulis apa yang mereka baca dan telah didiskusikan. Dan salah satu langkah konkret untuk merespon isu-isu adalah dengan menulis, kader yang responsif akan senantiasa rajin menjawab permasalaha, dan kader yang seperti itu adalah representasi dari revolusioner. Idealnya peradaban intelektual dapat dipusatkan dimanapun, selama kaki ini masih berpijak disitulah ranah untuk belajar. Untuk mewujudkan hal itu maka organisasi masjid, organisasi masyarakat islam, organisasi mahasiswa islam, organisasi pelajar islam, dan lembaga pendidikan harus menjadi pionir untuk mewujudkan peradaban ini. Karena memang sudah sepantasnya perkumpulan seperti itu menjadi representasi dari peradaban intelektual.


[1] Mahasiswa Teknik Informatika di UIN SGD Bandung, Ketua Bidang Komunikasi & Informasi di HIMA PERSIS Komisariat UIN SGD Bandung, dan di Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Persis
[2] HR. Abu Dawud, Bab 31. Peperangan Besar, Hadits No 3745
[3] Thalib, Muhammad. 2000. “25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah menghadapinya”. Bandung: Irsyad Baitus Salam. Hal 31.
[4] QS. Al-Hujurat (49) ayat 6
[5] Ibid. Hal 228
[6] Ghazali, Imam. 1990. “Mukhtasar Ihya Ulumuddin”. Beirut. Hal 24
[7] Ibid. Hal 26
[8] Op Cit. Hal 229
[9] Shaheen, Asharf. 2010. “Your Words Make You”. Surakarta: Samudera. Hal. 31

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »