Pelajar Cerdas Luar-Dalam, mungkinkah? bagaimana meraihnya?

created by Acheu Punamasari (santri Persis PPI 1 Bandung)
Ilmu adalah elemen penting yang dibutuhkan otak, tanpa suplai ilmu otak tidak akan melakukan kerja-kerja berfikirnya sebagai hewan yang berfikir (hayawanun naatiq), maka wajar kemudian jika dalam mencari ilmu dalam islam diwajibkan dari buaian hingga menuju liang lahat. Al-Qur’an pun menjelaskan bahwa tidak sama orang yang mengetahui (baca: mempunyai ilmu) dengan orang yang tidak mengetahui bahkan meninggikan orang yang mempunyai ilmu beberapa derajat dibandingkan yang lainnya (tentunya dengan dibarengi keimanan kepada Allah).

Selanjutnya ilmu dalam Islam sendiri ibarat navigasi (penentu arah) guna menuju kepada Allah swt. Maka tidak heran ketika Islam menentang sekularisme (pemisahan antara dunia dan agama), karena tujuan dari mencari ilmu dalam Islam ialah agar manusia –dengan hati yang jujur lagi tawadlu- mampu melacak siapa sebenarnya penciptanya, apa tujuan ia diciptakan dan kemana ia akan kembali setelah mati. Ilmu adalah rute terdekat menuju Allah Swt, karena seorang ‘aalim (orang berilmu) yang mempunyai jiwa kesatria ia akan memaklumi bahwa diantara para ‘aalim ada Al-‘aliim (Yang Maha Mengetahui) yaitu Allah Swt.

Setali tiga uang, ilmu selanjutnya akan mengantarkan pemiliknya pada kebaikan akhlak dikarenakan sang pemiliki ilmu tahu bahwa terlalu banyak rahasia alam yang ia tidak ia ketahui serta ia sadar bahwa ketidak tahuannya mengharuskan ia menelusuri petunjuk Allah yang Maha Tahu dengan aturan sempurna-Nya yang terangkum dalam Islam. Maka konklusi (kesimpulan) dari proses pencarian ilmu tersebut ialah kebaikan akhlak dan penghambaan kepada Allah Swt. Dan kesemua ini merupakan tujuan dari adanya proses pendidikan dalam Islam; kepintaran yang berbikai integritas.
Dari sini wajar jika selanjutnya peradaban Islam mampu mencapai masa jayanya ketika ilmu dan iman “berpacaran” saling merindu, selalu mengusahakan bertemu, berkorban tiada jemu. Hingga barat yang kini berkembang pesat mengutuki masa kepecundangannya sendiri dengan menyebut masa tersebut bagi barat sebagai dark age, zaman kegelapan. Hingga akhirnya peradaban dunia Islam runtuh ditinggarai dengan “putus”nya ilmu dan iman oleh tipu daya dunia yang menjerumuskan. Budaya ilmu sebagai alat pelacak Allah beserta karunia-nya pun mulai meluntur sehingga kemunduran tak lagi terelakan.

Mari kita renungkan hal apa yang penting dari Adam as hingga malaikat dan iblis Allah perintahkan untuk menghormatinya? Jawabanya ialah karena Adam as diberikan oleh Allah ilmu berupa nama-nama yang malaikat pun tidak mampu menyebutkannya, disertai keimanan  dan ketaatan ia hidup dalam damai di surga-Nya bersama Hawa pasangannya. Lalu sebaliknya apa yang selanjut membuat Adam as terhina hingga ia diturunkan kedunia meninggalkan surga bahkan terpisah dari hawa? Tidak lain karena ilmu dan imannya terhijab syahwat hingga terhambat untuk taat.

Maka semestinya ilmu dan iman harus senantiasa bersama dalam arti yang seutuhnya, bukan seperti sepatu yang hanya berpasangan namun tak pernah bersatu, selalu melangkah atas dasar kepentingan manusia, bukan atas kesadaran akan aturan Allah. Ilmu pun jangan ia dibiarkan menjalani hubungan long distance relationship (hubungan jarak jauh)dengan iman, bahkan ia harus lebih dekat dari lima langkah terintegrasi dalam niat suci, menjadi wakil ilahi rabbi dimuka bumi.

Dari sini tergambar oleh kita maksud para pendahulu kita menyatukan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum yang sejatinya bagai dua sisi mata uang, tak terpisahkan. Memadukannya dalam sebuah lembagai yang bervisi “thaaifah yufaqqihuuna fiddin” bukan semata-mata untuk menentukan bid’ahnya tahlilalan - haramnya berbagai bentuk syirik. Namun tujuan ini atas dasar warisan rumus yang pernah diterapkan dizaman keemasan Islam. Maka tidak heran jika pendidkan dengan konsep tersebut -jika dikelola dengan serius- akan menghasilakn PELAJAR YANG CERDAS LUAR-DALAM. Modal keimanan sudah ada, tinggal mencari pasangannya yang dulu hilang yaitu ilmu beserta budaya ilmiah yang menuggu kembali dipersatukan dalam cinta, ditengah dunia yang menjerit-jerit minta diusrusi.

Akankah warisan tersebut bisa kembali pada ahli warisnya? Mampukah pelajar muslim sebagai penerus perjuangan Islam menggapai kejayaan ilmu kembali? Atau zaman memang sudah menempatkan umat Islam sebagai penonton saja? Hingga lembaga pendidikan multi ilmu hanya sebatas indrusti pendidikan yang diserba islamkan? Tantangan apa saja  yang dihadapai umat muslim dalam menggapai buadaya ilmu? Lalu bagaimana mengenai posisi ilmu, ilmu pengetahuan hingga tujuan pendidikan dalam islam dalam tinjauan seorang pakar pendidikan? Mampukah serang pelajar mencapai kecerdasan luar-dalam?
Hemat saya anda bisa menemukan jawabannya dalam acara ini, hadir dan ajak teman terbaikmu.

Oleh: Acheu Punamasari (santri Pesantren Persis 1 Bandung)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »