Oleh: Husna Hisaba Kholid (Ketua Umum Ikatan Pelajar PERSIS)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendakalah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Al-Hasr : 18-19)
“Dua kenikmatan yang banyak dilalaikan orang adalah kesehatan dan kesempatan” (H.R Bukhari)
“Waktu adalah harta yang paling mahal yang pernah anda jaga, namun saya melihat, waktu paling mudah untuk anda sia-siakan” (Ibnu Jauzi)
“Sudah saatnya berhenti untuk mengutuk dan mencaci masa lalu. Karena, semua itu tidak akan pernah kembali lagi kepada kita. Dan berhentilah memuji dan mendewakan segala kebaikan dan kesejahteraan yang kita angan-angankan di masa yang akan datang. Karena itu semua belum tentu akan kita dapatkan. Namun, kesempatan yang ada bagi kita adalah waktu dimana kita berada sekarang”
Malam tadi, kita menyaksikan orang-orang tumpah ruah memadati jalan raya untuk merayakan tahun baru. Segala atribut simbol tahun baru mereka pakai untuk menambah kemeriahan hari raya tahunan itu. Tidak mengenal usia, jabatan, dan pekerjaan turut merayakan perpindahan satu angka saja dari 2013 menuju 2014. Segala do’a harapan kebaikanpun mereka ucapkan demi kehidupan yang lebih baik dimasa yang akan datang. Namun, sayangnya karena kemeriahan dan kemegahan itulah, dikhawatirkan membuat kita lupa akan hakikat perpindahan waku antara masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Abdullah bin Mas’ud[1] pernah berkata,”Saya tidak pernah menyesali suatu hal, seperti penyesalan saya atas hari yang telah berlalu, dimana umurku telah berkurang dan aku tidak sempat menambah amal baikku”. Sungguh bermakna apa yang disampaikan oleh sahabat Rasulullah Saw. ini. Setidaknya, baik untuk memaknai perpindahan tahun baru kali ini.
Perpindahan tahun bagi seorang muslim adalah isyarat semakin berkurang jatah umurnya[2]. Hal inilah yang mendorong bagi dirinya untuk selalu memikirkan apa saja yang telah ia perbuat di masa lalu dan apa saja yang akan ia perbuat di masa yang akan datang. Namun, tidak sedikit orang ketika memikirkan hal itu, ia akan selalu mencaci maki dirinya atas masa lalu yang ia lewati serta memuji dan mendewakan masa depan dengan berangan-angan untuk meraih segala kebaikan dan kesejahteraan dimasa yang akan datang. Sehingga ia lupa bahwa realita kehidupan yang ada ialah ia itu hidup pada masa dimana ia berada sekarang. Seorang penyair berkata,
“Apa yang telah berlalu telah mati. Adapun apa yang kita cita-citakan masih ghaib disana. Maka kesempatan bagimu adalah waktu dimana kamu berada sekarang”
Sudah saatnya berhenti untuk mengutuk dan mencaci masa lalu. Karena, semua itu tidak akan pernah kembali lagi kepada kita. Dan berhentilah memuji dan mendewakan segala kebaikan dan kesejahteraan yang kita angan-angankan di masa yang akan datang. Karena itu semua belum tentu kita akan mendapttkannya. Namun, kesempatan yang ada bagi kita adalah waktu dimana kita berada sekarang. Sehingga kita dapat memperbaiki segala apa yang telah kita perbuat dan menggapai segala harapan yang kita cita-citakan di masa yang akan datang.
Allah swt. secara tidak langsung telah memberikan arahan tentang hal itu semua dalam surat Al-Hasr ayat 18-19, Ia Berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendakalah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan jakanlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Al-Hasr : 18-19). Setidaknya ada tiga hal yang mesti kita perhatikan dalam ayat ini. Pertama, Taqwa[3] sebagai bekal yang paling baik di masa yang akan datang. Kedua, Evaluasi diri sebagai neraca pelajaran dari kehidupan masa lalu agar kita dapat melangkah lebih baik dimasa yang akan datang. Ketiga, Dzikir (selalu ingat kepada Allah) sebagai benteng keimanan agar kita selalu beramal shalih untuk bekal kita di akhirat kelak.
Maka dari itulah, perpindahan tahun sebaiknya menjadi moment yang baik untuk selalu mengevaluasi diri kita agar tidak terjerumus kepada jurang keburukan dimasa yang akan datang. Yaitu dengan selalu memikirkan kebaikan apa yang akan kita lakukan hari ini, esok, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Sebagaimana Ibnu Qoyyim pernah berkata,”Pemikiran yang paling cemerlang dan mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah di akhirat bermacam-macam. Diantaranya, berpikir bagaimana mengisi dan menggunakan waktu seefisien mungkin dan mencurahkan segala perhatian untuk mengatur waktu. Orang yang paham adalah orang yang tahu akan nilai waktu, apabila ia menyia-nyiakannya berati ia telah menyia-nyiakan kemaslahatan hidupnya, sebab kemaslahatan dan keberhasilan diperoleh karena penggunaan waktu yang efisien, dan waktu yang telah berlalu mustahil untuk diulang kembali”
Terlebih kepada para pelajar yang masih banyak kesempatan untuk meraih segala apa yang ia harapkan, sangat mudah baginya untuk meraih hal tersebut di masa muda. Karena ketika usia telah lanjut, hilanglah semua potensi yang dimiliki untuk meraih semua itu. seseorang pernah berkata tentang hakikat masa tua[4], “Tiap kali bertambah usiamu akan bertambah besar tanggung jawabmu, bertambah luas hubungan sosialmu, semakin sempit waktumu, dan kian berkurang potensimu. Waktu di masa tua lebih sempit, tubuh semakin lemah, kesehatan menurun, semangat mengendor, sementara kewajiban dan kesibukan semakin banyak. Maka bergegaslah di masa muda, karena masa itu merupakan kesempatan emas bagimu. Janganlah bergantung dengan sesuatu yang masih ghaib yang belum kau ketahui hakikatnya. Sebab setiap waktu penuh dengan kesibukan, pekerjaan dan hal yang tak terduga.
Ahmad Syauqi pernah berkata dalam syairnya,”Denyut jantung manusia selalu berkata kepadanya, “Sesungguhnya kehidupan ini hanyalah beberapa saat saja. Maka angkatlah nama baikmu untuk bekal apabila kamu mati, karena nama baik bagi manusia adalah umur baru”. Maka dari itu, sudah saatdan waktunya kita menjadi manusia sholeh karena mungkin esok atau lusa kita akan terlambat untuk menjadi Manusia Sholeh. Wallahu a’lam bi Shawab
[1] Abdul Fathah Abu Ghudah dalam Nilai Waktu Menuurut Para Ulama, hal 17
[2] Rasulullah Saw bersabda,” Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dihimpun penciptaannya dalam perut ibunya selama empat bulan berwujud air sperma, kemudian empat bulan menjadi segumpal darah, kemudian empat bulan menjadi segumpal daging, kemudian diutus seorang malaikat untuk meniupkan kepadanya ruh dan untuk menuliskan empat perkara: rezekinya, ajalnya, amalnya, celaka dan selamatnya....” (H.R Bukhori)
[3] Suatu Hari, Umar bertanya kepada Ubay bin ka’ab, “Tahukah engkau arti taqwa?” Ubay balik bertanya,”tidak pernahkah engkau melewati jalan berduri?” “tentu pernah” jawab umar. Ubay bertanya lagi, “apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “Kusingkirkan duri itu. jika tidak bisa, aku akan menghindari duri itu dan terus berjalan.” “itulah taqwa,” jelas ubay. Fuad Abdurrahman dalam The great of Two Umars hal 159.
[4]Abdul Fattah Abu Ghudah dalam Waktu Menurut Para Ulama Hal 128.
EmoticonEmoticon