DARI RG-UG HINGGA PELAJAR PERSIS

Tahun 1943 di bandung berdiri organisasi pelajar bernama Rijalul Ghad dan Ummahatul Ghad di singkat RG-UG. Organisasi intra Pesantren PERSIS ini eksistensinya sanggup bertahan hingga sekarang. RG-UG telah berhasil mencetak kader- kader yang unggul. Sebut saja Ust Shiddiq Amienullah (Alm) atau Prof. Maman Abdurrahman beliau adalah alumni RG- UG.
Tahun 1966 di prakarsai oleh PP. Pemuda PERSIS di pesantren PERSIS Benda Tasikmalaya di gelarlah sidang untuk menetapkan Nidzam Asasi- Nidzan Dakhili RG- UG. Sidang tersebut menghasilkan beberapa butir peraturan penting yakni tentang FKD (Forum Komunikasi Daerah) untuk tingkat kota, FKW (Forum Komunikasi Wilayah) untuk tingkat provinsi, dan FKN (Forum Komunikasi Nasional) untuk tingkat Pusat/ Nasional, format seperti ini tidak tersosialisasikan dan terlaksanakan.
Tahun 2005 saat Muktamar XIII PERSIS di Jakarta menjadi titik balik bagi pelajar PERSIS. Di gelaran SILATNAS I (Silarurrahmi Nasional ke- 1) Santri PERSIS di bumi perkemahan Cibubur, pelajar PERSIS mulai mewancanakan IPP (Ikatan Pelajar PERSIS).
Tahun 2008 di gelaran SILATNAS II di bumi perkemahan kiara payung Sumedang, untuk mengakomodir aspirasi para pelajar PERSIS, di bentuklah Majlis Presidium IPP. Majlis Presidium ini adalah 48 Pelajar dari seluru Pesantren PERSIS di Indonesia yang bertugas sebagai Formatur.
Tahun 2009 dalam gelaran Silaturfikri-sSilaturrahmi di Viaduct di sepakatilah untuk segera JAMNAS III (Jambore Nasional ke- 3) Santri PERSIS di PPI 84 Ciganitri Bandung, seluruh santri sepakat untuk melaksanakan Kongres Nasional.
Tepat tanggal 23-24 September 2010 di Garut terselenggaralah Kongres Nasional yang di prakarsai oleh Pelajar PERSIS Garut dan di buka langsung oleh Ketua Umum PERSIS massa Jihad 2010-2015, Prof. Maman Abdurrahman, MA,. (Diolah dari beberapa sumber)

Ada apa dengan Baiat Santri Persis?



Ada apa dengan Baiat Santri Persis?

Oleh : Kholid Barkah
(Staff Komunikasi & Informasi PP. Ikatan Pelajar Persis)


Dengan didirikannya Pesantren Persis oleh A. Hassan pada tahu 1943 di Pajagalan, Bandung, menjadi titik tolakan perjuangan dakwah dalam bidang pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan Generasi Rabbani, berakhlakulkarimah serta Tafaquh Fiddin. Sistem pendidikannya pun dikemas seefektif mungkin yang berdasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah yang menjadi landasan filosofis didirikannya Persatuan Islam (PERSIS).
Sebagai sebuah Jam’iyyah, Persis menempatkan kadernya di barisan paling depan dalam hal mendobrak aktivitas-aktivitas masyarakat yang bertolak belakang dengan ideologi yang dianutnya. Walaupun terkadang Persis sering menjadi penentang lawan bagi masyarakat yang tidak sepaham dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Maka tak heran Persis pada masa pendiriannya dicap sebagai organisasi masyarakat Islam yang ekstrim dalam menentang segala aktifitas ibadah dan mu’amalah yang tidak sesuai pedomannya. Persis banyak berdebat dengan ahli-ahli bid’ah, Islam tradisionalis, bahkan berdebat dengan Ahmadiyah. Sang guru Persis A. Hassan mampu menyaingi pemahaman dan pemikiran lawan debatnya. Walaupun kenyataanya Persis tidak menampakkan diri untuk terjun langsung melawan aktivitas-aktivitas keagamaannya. Tapi dalam hal pemikiran, Persis selalu menampakkan diri, berdebat langsung denga tokoh-tokoh mereka, sehingga Persis dapat menemukan titik permasalahan pemikiran mereka yang keliru. Dari sanalah Persis berdakwah dengan cara yang baik, bil mau’idhotil hasanah. Tentunya banyak diantara kita yang belum bisa menangkap pemikiran mereka yang keliru itu. Hasilnya, banyak pemikiran kita yang belum mampu menerobos aktivitas-aktivitas keagamaan mereka.
Sebagai wahana dakwah, Pesantren Persis harus bisa mengarahkan santrinya dalam segala aktivitas yang didasarkan pada prinsip Al-Quran dan As-Sunnah. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, seluruh kegiatannya bermanfaat dan tentunya menghasilkan pahala yang akan menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan akhirat. Seperti kegiatan membaca Al-Quran, sholat lima waktu, shaum sunnah atau wajib. Atau kegiatan yang bersifat mengubah karakter, seperti dibiasakan tidak berbohong, tidak mengejek sesama makhluk Allah, tidak mencuri, tidak bersikap sombong (riya/sum’ah), tidak bertengkar, dan sebagainya. Atas dasar tersebut, di Pesantren Persis diadakanlah janji setia santri kepada Allah S.W.T. dihadapan guru (asatidz pesantren) yang dikenal sebagai “Bai’at Santri Persis” setiap seminggu sekali, ada juga yang melakukannya setiap hari. Isi bai’at tersebutlah yang nantinya akan menjadi ruh setiap santri dalam menjalankan roda kehidupan yang terus berputar, yang memaksanya untuk masuk ke dalam zaman yang serba modern sehingga keluar dari zona amannya.
Kegiatan bai’at ini menjadi adat kebiasaan di seluruh pesantren Persis dari mulai tingkat RA/TK, Madrasah Ibtidaiyah/Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah (Mu’allimin). Para santrinya bergema mengucapkan isi bai’at yang kebanyakan berisi tentang pembinaan karakter yang diajarkan Rosulullah S.A.W.
Seiring berjalannya waktu, bai’at ini hanya menjadi sebuah tradisi yang semu, tak berbekas, tidak menjadi ruh, hanya diucapkan dibibir tapi tidak diamalkan secara konsisten.
Jika dicermati dengan sekasama, isi bai’at tersebut sarat dengan makna pendidikan yang dicontohkan oleh Rosulullah S.A.W. untuk membina karakter umatnya. Seperti tidak berbohong, maka harus berkata dengan jujur, tidak mengejek sesama, jika dilaksanakan akan ada hati yang terluka. Imbasnya adalah saling dendam antara satu dengan yang lain. Ukhuwah tidak terwujud, kasih sayang tidak tercapai, kebohongan merajalela. Kalaulah bai’at tersebut dilaksanakan sebaik-baiknya dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, rasanya tidak ada santri persis yang ikut tawuran, durhaka terhadap orang tua, malas belajar, mencuri, tawuran antar pelajar, seks bebas, dendam yang berkepanjangan, saling ejek, dan sebagainya. Para santri yang akan menjadi penerus dakwah Islam, tidak akan ragu lagi dalam menghadapi zaman, tatkala prinsip dakwah pendidikan yang tercantum dalam Bai’at Santri Pesantren Persis diamalkan serta direalisaikan kehidupan ini.

~Wallahu a’lam bis showab~

Catatan Akhir Tahun



Catatan Akhir Tahun
Menjadi Hamba Pensyukur dan Penyabar
Oleh; Hafidzin Hafidz*
(PP IPP Bidang Komunikasi & Informasi)


Imam Al-Ghazali mempersonifikasikan (mengumpamakan) waktu dengan makhluk yang dapat berbicara.
Seandainya waktu dapat bicara maka dia akan berkata kepada seluruh manusia dan jin bahwa aku adalah waktu yang baru, pergunakanlah aku dengan sebaik-baiknya.
“Ucapan” waktu tersebut merupakan suatu kepastian yang yang telah ditetapkan oleh hukum Allah di alam semesta ini. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu,  bulan, dan seterusnya akan senantiasa baru. Satu detik yang lalu, satu detik sekarang, dan satu detik yang akan datang merupakan tiga detik yang berbeda. Ketiganya merupakan detik yang baru di masanya dan tidak akan pernah kembali menyertai aktivitas makhluk-Nya. Demikian pula dengan menit, jam, hari, dan seterusnya. Entah berapa juta kali hari jum’at berulang setiap pekan, namun semuanya tidak ada yang sama. Berjuta-juta hari jum’at merupakan jutaan jum’at yang baru.
Hal yang lebih menarik dari memahami “ucapan” waktu tersebut adalah dirinya sebagai mahluk yang baru. Dia (waktu) akan terus berjalan mengiringi denyut kehidupan setiap mahluk. Dia tidak pernah berhenti beraktivitas, walaupun makhluk – makhluk di alam semesta sedang beristirahat, bersantai, berleha–leha, dan sebagainya. Ketika makhluk melakukan sesuatu lalu mengulanginya karena terjadi sesuatu kesalahan maka hal itu dilakukan dengan waktu yang berbeda walaupun nama perbuatanya sama. Dia tidak akan pernah kembali walaupun hanya sedetik. Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata, “Dunia adalah yang ada di belakang dan akhirat yang ada di hadapan”. (fathul bari, juz 11).
Tahun hijriah sebagai penaggalan yang cenderung sering di lupakan oleh pemiliknya (baca: umat islam) hal ini terbukti ketika pesantren persis khususnya yang dahulu kala menggunakan system penanggalan hijriyah, sekarang beralih pada rujukan kalender qomariyah, memaknai hakikat waktu itu makhluk yag senantiasa baru namun manusia kebanyakan menyadari ketika telah berlalu beberapa pekan dari tahun 1436 menuju 1437 H..
Setiap hal yang telah terjadi pada tahun yang lalu tidak akan berulang, namun hal tersebut akan sangat berarti bagi makhluk yang mau menjadikan cermin dalam menjalani kehidupannya di masa yang akan datang. Waktu merupakan salah satu anugrah yang diberikan Allah kepada kita dan makhluk lainnya. Tanpa mengharapkan pamrih dari setiap mahluk, Dia memberikan nikmat waktu dan kenikmatan lainnya secara cuma – cuma. Bahkan, anugerah tersebut Allah berikan kepada seluruh makhluk, baik yang taat kepada- Nya maupun yang maksiat, yang mukmin maupun yang kafir. Kalaupun manusia dan jin tercipta untuk beribadah kepada-Nya, hal tersebut bukan untuk Dia, tetapi bagi manusia dan jin sendiri. Beragam cara dapat dilakukan dalam memaknai waktu yang terus berganti, diantaranya melalui sikap sederhana. Sikap sederhana yang dapat dilakukan manusia (khususnya kaum muslimin) dalam menyikapi anugerah yang tidak terhingga banyaknya tersebut adalah dengan melakukan dua hal, yaitu bersikap syukur dan disertai dengan sikap sabar.
Menjadi hamba yang senantiasa mensyukuri setiap yang diterima dan dialami tidaklah mudah dan gampang. Akan tetapi, hal tersebut membutuhkan ilmu dalam melaksanakanya agar tidak menjadi sia-sia dan tanpa nilai. Secara sederhana, arti syukur dapat dipahami dengan menggunakan setiap nikmat yang diberikan sesuai dengan maksud dan tujuan pemberi nikmat tersebut. Sikap syukur dapat dilakukan setidaknya dengan dua langkah. Pertama melalui lisan atau lidah dengan mengucapkan tahmid atau hamdallah. Kedua dengan melakukan aktivitas atau amalan yang diridhoi Allah Swt dan dicontokan Rasulullah Saw.
Bersikap syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah akan sangat berat ketika tidak didorong dengan keikhlasan yang kuat. Dalam sebuah wasiat yang diterima sahabat Mu’adz bin Jabbal r.a. rasulullah berkata kepadanya, “Wahai Mu’adz, aku berwasiat kepadamu untuk tidak melupakan (meninggalkan) membaca do’a pada setiap akhir shalat, yaitu Ya allah, tolonglah aku untuk dapat senantiasa berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu”.
Sikap berikutnya yang dapat memaknai waktu adalah melalui sikap sabar. Allah Swt telah menetapkan suatu hukum alam berupa kondisi yang berpasang-pasangan. Dia tetapkan lapang dan sempit, suka dan duka, dan seterusnya. Kesemuanya harus dihadapi dengan sikap sabar.
Sebagaimana ulama memberikan pandangan mengenai sifat mulia ini dengan al Habsu (menahan diri). Sikap menahan diri yang dimaksud adalah menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak diridhoi Allah dan Rasul-Nya, baik dalam kondisi suka maupun duka. Sikap sabar di saat lapang dan su’’’ka adalah dengan menahan diri untuk berleha-leha dan berpoya-poya. Sikap sabar disaat sempit dan duka adalah dengan menahan diri dari bersikap frustasi atau stress yang tidak jarang diikuti dengan melakukan hal-hal yang dilarang agama, seperti bunuh diri.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. menggambarkan keistimewaan seorang mukmin yang sejati. Beliau berkata, “Sungguh suatu keistimewaan bagi seorang mukmin karena seluruh urusannya adalah kebaikan (bagi dirinya). Apabila dia ditimpa kebahagiaan kemudian bersyukur atas kondisi itu maka sikap tersebut adalah baik bagi dirinya. Namun, apabila ditimpa kesedihan dan kedukaan lalu bersabar atas kondisinya itu maka sikap tersebut adalah baik baginya”.
Semoga kita termasuk kepada hamba-hamba Allah yang dapat memaknai hakikat waktu dengan sebaik-baiknya sehingga terwujud dalam setiap aktivitas sehari-hari . Amiin
Wallahu’alam bis shawab. (29/12/1436).