Get Beauty with Syar’i



Ditulis oleh Rifqi Azhar Nugraha[1]
            Beauty biasanya disandarkan kepada perempuan karena cantik adalah arti yang familiar untuk kata tersebut, namun penulis artikan kata beauty sebagai indah/bagus, diartikan seperti itu agar tulisan ini tidak terdengar feminim. Uhibbukum fillah (Mencintai karena Allah) adalah lafadz yang biasa disebut oleh kaum muda zaman sekarang, lafadz ini terdengar sangat indah khususnya kaum akhwat dan diimplementasikan dengan kerudung panjang (adapun yang bercadar), jomblo elegant, memperbanyak shalat dan shaum. Semua itu adalah niat dan amalan yang bagus, tidak ada yang salah dengan itu semua, namun yang disayangkan jika para kaum muda taqlid begitu saja akan semua itu, tanpa mengetahui alasan ataupun kekurangan yang penulis pikir hal ini menjadi ideologi yang baru.
            Islam adalah filter dunia yang diturunkan oleh Allah kepada seluruh umat manusia tanpa dibatasi ras, suku, negara, budaya, umur, ataupun jenis kelamin yang turun semenjak diciptakannya manusia hingga akhir zaman, dan harus diamalkan secara kaffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan.
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".[2]
            Nabi Ibrahim as mengajarkan agama Allah yakni Islam pada masanya, namun kaumnya tidak mendengarkan lalu berbuat bid’ah dan kufur, sesungguhnya meninggalkan Islam itu adalah perbuatan bodoh yang nyata. Karena itu Nabi Ibrahim memberikan wasiat kepada anaknya, yaitu Islam.
Ibnu Katsir dalam kitabnya Lubaabut Tafsiir min Ibni Katsiir yang diterjemahkan oleh M. Abdul Goffar E.M “Maka orang yang meninggalkan jalan dan agamanya lalu mengikuti jalan kesesatan, maka adakah kebodohan yang lebih parah darinya? Atau adakah kezhaliman yang lebih berat darinya?”[3]
Maka cukuplah menjadi keyakinan bahwa Islam datang dari Allah lewat utusan-utusan-Nya dan manusia sebagai hamba-Nya harus berserah diri kepada-Nya dengan jalan Islam. Alangkah indahnya jika semua orang paham bagaimana Islam yang sesungguhnya dan mengamalkannya dengan kaffah, karena Islam mengajarkan hukum, tingkah laku, ibadah, dan apapun yang ada di dunia ini. Namun memang mustahil di dunia ini tidak ada yang berbuat dosa sedikit pun, jika seperti itu maka tidak akan ada ujian kepada umat manusia dari Allah, setan diturunkan pula ke bumi karena Allah ingin menguji seberapa ta’at hamba-Nya.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنِي لَيْثٌ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ قَيْسٍ قَاصُّ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَبِي صِرْمَةَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ حِينَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَدْ كُنْتُ كَتَمْتُ عَنْكُمْ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تُذْنِبُونَ لَخَلَقَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَوْمًا يُذْنِبُونَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin 'Isa] telah menceritakan kepadaku [Laits] telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Qais, ahli ceramah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz] dari [Abu Shirmah] dari [Abu Ayyub Al Anshari] bahwa ia berkata saat sekarang: "Dulu aku menyembunyikan sesuatu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam untuk kalian, beliau bersabda: "Andaikan kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah Subhaanahu wa Ta'ala menciptakan kaum yang berbuat dosa lalu Allah mengampuni mereka."[4]
            Bukan berarti wajar-wajar saja jika berbuat dosa, namun ini adalah peringatan bagi umat manusia agar terus bertaqwa kepada Allah, dan segera bertaubat saat ada dosa dalam diri. Serta ini adalah kesempatan untuk mengamalkan konsep amar ma’ruf wa nahyi munkar.
            Jika dalam dunia menulis ada ungkapan “Jika kau ingin dikenal maka menulislah” maka dalam hal ini “Jika kau ingin dikenal Allah maka berbuat baiklah atas nama-Nya”. Karena sejak dendamnya setan kepada manusia, kebaikan menjadi hal yang sangat urgent, apalagi saat para ulama telah meninggal dunia.
Ustadz Daerobby dalam salah satu majalah Islam yang bernama Risalah pernah menulis: “… Yang menyebabkan kebaikan semakin berkurang dan kejahatan semakin bertambah adalah karena pada suatu saat banyak manusia yang kehilangan pegangan hidup dan sulit mencari figur untuk diteladani, yaitu dengan semakin langkanya orang-orang yang menyampaikan kebenaran karena banyak yang sudah wafat.”[5]
Ustadz Aceng Zakaria[6] menambahkan dalam majalah yang sama dalam rubrik Khutbah Jum’at yang diberi judul Pentingnya Hidayatud-Din: “Hidayatud-Din; yaitu petunjuk agama berdasarkan wahyu dari Allah untuk kesempurnaan hidup manusia. Karena dengan petunjuk akal, manusia hanya mampu mengkonsumsi kebutuhan fisik jasmani, sementara kebutuhan rohani tidak dapat dipenuhinya. Manusia ingin hidup bahagia, tenang, tentram dan penuh rasa aman. Kebutuhan ini tidak dapat dipahami dengan akal atau materi. Kenyataannya orang bertambah kaya justru bertambah takut, bertambah tinggi pangkat dan jabatan bukan bertambah aman, malahan bertambah takut, cemas dan gelisah. Maka untuk meraih kebahagiaan, tidak ada lagi resepnya kecuali dengan hidayatud-din.”[7]
            Semangat akan ibadah kepada Allah adalah jiwa positif dalam hati dan tidak boleh dihalangi, namun berbeda jika ibadah yang diamalkan adalah bid’ah. Jika dibiarkan saja maka orang itu termasuk ke dalam orang yang kufur, namun tidak menjadikan dia keluar dari Islam, yang dimaksud adalah kufur dalam akal.
Bid’ah adalah menambah, mengurangi, atau merubah suatu amal ibadah, bid’ah disebabkan kesalah pahaman dalam beribadah dan beramal, jika ibadah yang dikerjakan ternyata tidak dianjurkan Rasulullah maka tertolak dengan mutlak, karena itu mesti hati-hati dalam mengamalkan terutama ibadah mahdlah, sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat dan kesesatan tidak akan diterima oleh Allah.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Telah menceritakan kepada kami [Ya'qub] telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Sa'ad] dari [bapaknya] dari [Al Qasim bin Muhammad] dari ['Aisyah radliallahu 'anha] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak". Diriwayatkan pula oleh ['Abdullah bin Ja'far Al Makhramiy] dan ['Abdul Wahid bin Abu 'Aun] dari [Sa'ad bin Ibrahim].[8]
وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak.”
 الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[9]
            Tidak perlu repot lagi rasanya umat Islam merenovasi ajaran-ajaran Islam, walaupun niatnya baik dan atas nama Allah tetap saja jika tidak berguna maka amalan-amalan yang sudah dilakukan bernilai nonsense. Ulama sebagai pewaris nabi telah meneliti dengan pelbagai metodologi demi mengharap ridla Allah dan mengajak kepada kebenaran Allah yang nyata, sayang sekali jika ilmu-ilmu yang datang dari Allah ini tidak dita’ati, maka kepada siapa lagi manusia meminta pertolongan?
            Ibnu Katsir dalam Kitabnya jilid 3 berpendapat: “Ini merupakan nikmat Allah terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan agama lain, dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh umat manusia dan jin. Sehingga tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah hak, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali.”[10]
            Sayang sekali karena banyaknya paham pluralisme yang mengakibatkan liberalisme, dan sekularisme serta khawatirnya kaum muslim terjebak ideologi seperti itu secara tidak sadar ada beberapa golongan yang menghilangkan salah satu pilar terpenting dari ilmu, yaitu filsafat. Sehingga orang-orang awam langsung protektif kepada orang-orang yang berfilsafat tanpa tahu dasar pemikirannya sedikitpun, karena melihat hasil buruk dari para filsuf barat tanpa memandang banyak juga filsuf dari muslim yang memberikan banyak kontribusi bagi peradaban Islam seperti Al-Ghazali dan Ibnu Sina.
            Filsafat pada dasarnya adalah proses mencari tahu ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan ini pun bertransformasi menjadi salah satu cabang ilmu yakni filsafat. Keputusan yang buruk jika umat Islam sendiri meninggalkan ilmu filsafat, karena filsafat sesat hanya dapat dilawan dengan filsafat lagi, dan pedang hanya dapat dipatahkan dengan pedang lagi.
            “Berfilsafat itu ialah berpikir; memecahkan suatu masalah, mencari jawaban tentang sesuatu dengan jalan berpikir. Lebih jauh lagi sedikit, berfilsafat ialah berpikir mencari kebenaran.”[11] Oleh karena itu, kurang tepat rasanya jika filsafat dihindari. Karena ilmu-ilmu yang ada tidak dapat disekularisasi begitu saja, jika ilmu itu memang sesat, kaum muslim tidak akan pernah bisa memberikan penawar racunnya jika tidak paham racun yang ada dalam pemikiran-pemikiran tersebut.
Maka dari itu tidak tepat jika seseorang menjustifikasi seseorang sesat hanya karena melihat buah hasil dari pemikirannya, tanpa menganalisa sebab pemikiran orang tersebut. Justru yang dikritisi itu bukan hasil dari pemikirannya, namun akar dari pemikiran tersebut, agar dia paham bahwa pikirannya itu sesat. KH. O Surachman[12] menerangkan saat seorang mu’min dihisab dan banyak berbuat bid’ah pada masa hidupnya, maka ia tidak bisa menyalahkan siapapun termasuk gurunya. Karena setiap manusia sudah diberi kewajiban untuk mencari ilmu semasa hidupnya, maka sudah terlambat jika baru sadar saat dihisab di akhirat.
Bagi mu’allimin (orang yang berilmu) tidak ada alasan baginya untuk tetap hubbud dunya (cinta kepada dunia), karena meraka tahu bahwa akhiratlah tempat yang kekal dan disana menjadi tujuan utama mengapa mereka beribadah semasa hidup di dunia. Namun tetap saja Islam tidak mengajarkan bunuh diri setelah mendapatkan cukup ilmu dan memperbanyak amal ibadah, karena semua hal itu hanya malaikat yang mencatat dan Allah-lah yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang ada pada hambanya.
“Keadaan roh dan jasad dapat pula diumpakamakan dengan keadaan seorang murid dan kelas atau sekolah. Selama si murid itu masih bodoh dia membutuhkannya sekolah untuk mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan, berlatih diri untuk mencapai kesempurnaan budi pekerti dan jasmani.
Bila murid itu sudah pintar, semua ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah itu sudah diketahuinya seluruhnya, maka tidak ada gunanya lagi baginya untuk tetap berada di dalam sekolah atau kelas itu, ia harus meninggalkan bangku sekolah, ke luar masyarakat yang lebih luas untuk memetik buah dari ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya itu.”[13]
Moch Anwar menambahkan: “Cahaya mereka itu terus bersinar sampai mereka melewati sirot/jembatan sirotol-mustaqim yang berada di atas neraka Jahanam. Dan ketika melewati sirotol-mustaqim itu, kecepatan mereka bermacam-macam, ada yang sekejap mata, ada yang seperti kilat, ada yang seperti kuda lari, ada yang seperti lari, berjalan, merangkak dan sebagainya sehingga ada juga yang sewaktu-waktu berjalan, sewaktu-waktu berhenti akan tetapi bisa sampai keujungnya, selamat tidak jatuh ke neraka.”[14]
Artinya tergantung amal ibadahlah yang menentukan bagaimana kecepatan orang mu’min saat melewati jembatan sirotol mustaqim itu, tentunya ibadah yang sesuai Qur’an dan Sunnah, tidak bid’ah. Karena bid’ah tertolak maka tidak akan dianggap sebagai amal ibadah.
Timbulnya pemikiran-pemikiran sesat tidak lain adalah karena lahirnya orang-orang yang mengaku sebagai ulama, padahal tidak ada satu katapun ilmu dalam dirinya, dan orang-orang seperti inilah yang malah dijadikan sumber rujukan dalam belajar. Maka akan semakin banyak pula orang-orang bodoh yang lahir di dunia ini. Tentunya yang penulis maksudkan bukan bodoh terhadap ilmu sains, teknologi, sosiologi, antropologi, dll. Namun kebodohan yang membawa kepada dekadensi moral, yang dimaksud adalah ilmu fardlu ‘ain yang diejawantahkan menjadi dasar aqidah, ibadah, dan akhlaq.
Untuk memberikan pemahaman dasar, tentang bagaimana cara untuk mengidentifikasi ilmu yang benar maka Dr. Nashruddin Syarief, M.Pd.I. menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Islam tanpa Sesat:
“Pertama, ilmu yang benar adalah ilmu yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hadits di atas, menyimpang dari keduanya adalah sebuah kesesatan.
Kedua, ilmu yang benar itu sudah Nabi saw ajarkan kepada para sahabat dan para khalifah sesudahnya yang berpegang teguh pada petunjuk Nabi saw (khulafa rasyidin mahdiyyin). Maka dari itu, sesudah Al-Qur’an dan sunnah, mesti dirujuk pula bagaimana para sahabat dan khalifah rasyidin mempraktikannya. Jika kemudian berbeda dengan yang diamalkan oleh para sahabat dan khalifah rasyidin, maka mesti diakui sebagai ilmu yang diambil dari Al-Qur’an dan sunnah, statusnya tetap sebagai sebuah kesesatan.
Ketiga, sunnah Nabi saw dan ijma dari para sahabat itu kemudian dilestarikan oleh generasi sesudahnya yang dikenal kemudian dengan sebutan ahlus-sunnah, untuk membedakannya dari ahlul-bid’ah yang mengabaikan sunnah dan ijma’ para sahabat.”[15]
Ilmu tanpa amal atapun amal tanpa ilmu bernilai nonsense, tidak akan ada yang menjadi bekal di akhirat nanti, karena ilmu tanpa amal adalah munafiq dan amal tanpa ilmu adalah kufur secara ilmu. Orang berilmu itu besar walaupun masih muda, sedangkan orang bodoh itu kecil meskipun sudah tua usianya. Beberapa waktu yang lalu penulis berdiskusi dengan tokoh agama di salah satu daerah, beliau sempat bercerita di tengah diskusinya bahwa ada satu orang tua renta yang menanyakan cara mandi junub kepadanya. Beliau dan penulispun langsung heran seorang yang sudah tua, yang diprediksi hampir habis masa hidupnya baru bertanya ibadah sewajib itu hari ini, lalu apa saja yang ia lakukan semasa mudanya? Lalu mandi seperti apakah yang ia lakukan saat bermimpi dan bertemu istrinya?
Orang-orang tidak mampu berpikir kirits terhadap ilmu atau bahkan tidak tahu kewajiban yang ia lakukan karena kurangnya ilmu, orang-orang seperti ini termasuk orang yang acuh tak acuh terhadap lingkungannya bahkan dirinya sendiri. Pada hakikatnya selain anak yang shaleh, hanya diri sendirilah yang dapat menolong jiwa dari api neraka. Orang yang tidak mampu memikirkan apapun maka dia bisa dianggap tidak ada, karena tidak mempunyai kontribusi apapun terhadap dunia, atau boleh dibilang sebagai mayat hidup, karena raganya ada, namun akalnya tidak ada.
Kaum Nabi Nuh, Kaum ‘Ad, Kaum Tsamud, Kaum Sodom, Kaum Madyan, Kaum Fir’aun, dan Kaum Saba’ tidakkah kaum-kaum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an ini begitu representatif bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada umat manusia? Bukankah zaman ini dapat dikatakan beruntung? Karena Allah masih memberikan waktu untuk bertaubat dan mencari ilmu, tidak seperti kaum-kaum yang dibinasakan Allah tadi. Maka marilah bertaubat dan segeralah mencari ilmu yang benar dengan semata-mata mengharapkan ridla Allah, populatirtas, royalti hanyalah sebagian kecil bonus yang Allah berikan untuk hamba-Nya yang pandai mencari ilmu.
Setelah mempunyai ilmu kerap banyak juga yang malah lupa diri, dari mana ia berasal dan apa kawajibannya, adapun yang mengatakan istilah kacang lupa pada kulitnya. Sering kali banyak aktifis, cendikia, dan bangsawan yang lupa dari mana ia berasal, siapa orang yang paling mempunyai investasi penting terhadap masa depannya, tentu saja orang tua. Secara tidak sadar karena merasa mempunyai derajat dunia yang tinggi, kerap berlagak atau berkacak pinggang di depan orang tua, padahal Allah Swt tidak menyukai hamba-Nya yang merendahkan orang lain apalagi orang tuanya.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا , وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".”[16]
            Kata جَنَاحَ pada ayat ke kedua puluh tiga arti sebenarnya adalah sayap, namun kata tersebut tidak diartikan secara harfiah. Maka diartikan sebagai tangan yang merendah. Seperti kata Aqis Bil Qisthi pada bukunya: “Maksud dari kata ‘Sayap’ pada firman Allah di atas adalah tangan. Wajib bagi seorang anak bersikap rendah hati atau tidak berlagak atau berkacak pinggang ketika berhadapan orang lain, terlebih dengan orang tua.”[17]
Saat bertemu dengan orang tua contohlah burung saat berdiri di bumi, hendaknya ia mengatupkan sayapnya. Nonsense jika takbir (Allahu Akbar) setiap hari diucapkan saat shalat bahkan saat berdemonstrasi di jalanan namun tidak paham esensi dari kalimat tersebut, apalagi sampai berani berlagak dan berkacak pinggang di depan orang tua, sedangkan berkata kasar bahkan “ah” saja tidak disukai Allah.
            Adapun sifat yang akan membinasakan sifat Beauty adalah Mutakabbirun, artinya sombong, boleh juga riya atau pamer. Sifat ini adalah salah satu sifat yang dikutuk oleh Allah, cukuplah hanya Allah yang melihat amal ibadah dan selanjutnya Allah yang akan memberikan derajat yang tinggi dihadapan orang-orang mukmin yang lain diakhirat nanti. Tidak mustahil juga Allah akan memberikan derajat di dunia dengan syarat ikhlas saat melakukan amal ibadah, bukan karena ingin dilihat oleh orang lain.
قِيلَ ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
“Dikatakan (kepada mereka): "Masukilah pintu-pintu neraka Jahanam itu, sedang kamu kekal di dalamnya". Maka neraka Jahanam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.”[18]
            Imam Al-Ghazali memberikan nasihat agar terhindar dari sikap sombong: “Pertama, mencoba dirinya untuk berdebat dengan lawan sehingga tampak apakah ia marah terhadap penampakan kebenaran di pihak lain. Kedua, mendahulukan orang yang sebaya daripada dirinya di dalam pertemuan. Ketiga, membawa keperluan ke rumahnya berupa makanan dan sebagainya. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumahnya bersama pembantunya dan makan bersama. Keempat, memakai pakaian yang sangat sederhana di tengah-tengah orang banyak.”
            Nurul Mubin dalam bukunya memberikan penjelasan makna dari nasihat yang diberikan Imam Al-Ghazali di atas: “Pesan moral dan etik dari Imam Al-Ghazali menunjukkan bahwa latihan spiritual yang berhubungan dengan upaya menghindarkan diri dari sikap takabur (sombong) akan memberikan efek spiritual dan juga efek psikologis yang menempatkan seseorang berada dalam kesadaran kemanusiaan yang sebenarnya.”[19]
            Ada satu golongan yang berpendapat bahwa shalat tidak perlu dilaksanakan jika shalat tidak merubah tatanan moral dan sosial, karena nonsense jadinya shalat 5 kali sehari namun tidak merubah apapun. Justru pendapat itu menunjukan bahwa shalat yang dikerjakan golongan itu tidak benar dan tidak khusyu, karena fungsi inti dari shalat adalah berdo’a. Maka dengan rajin shalat, baik itu wajib maupun sunnah, dan shalat yang benar-benar dicontohkan Rasulullah, serta dikerjakan dengan khusyu, maka seorang mukmin sejatinya akan merasakan dampak dari apa yang ia kerjakan, ia akan semakin yakin bahwa Allah terus mengawasinya dan menolong dirinya.
            Mukmin yang paham atas esensi shalat, pasti akan sadar peran dari shalat itu sendiri. Dalam shalat berjama’ah, Allah mengajarkan untuk menta’ati imam (pemimpin) dan senantiasa mendengarkan apa yang ia bacakan dan tidak mendahuluinya. Waktu-waktu shalat yang ditentukanpun menjadi pengajaran dari Allah bahwa hidup itu harus disiplin dan tepat pada waktunya serta tidak mendirikan shalat di waktu yang diharamkan. Bahkan ilmu medis pun membuktikan bahwa gerakan-gerakan shalat berpengaruh kepada kesehatan, dan gerakan itu sama manfaatnya dengan gerakan yang ada pada olahraga apalagi jika dilakukan secara berulang.
Maka orang yang senantiasa tidak berkeluh kesah dan lalai pada shalatnya, dalam kehidupan sehari-harinya ia akan mudah diatur oleh atasanya, murid oleh gurunya, mahasiswa oleh dosennya, karyawan oleh bosnya, dll. Ia pun mempunyai pribadi yang disiplin, pakaiannya indah dipandang, dan tidak mengabaikan pentingnya waktu, dan ia akan terlihat segar karena pori-porinya selalu menyerap air wudlu dan bugar karena gerakan yang ada pada shalat.
“Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai pensucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan, ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.”[20]
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ أَوْ الشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلَاةِ
Telah bercerita kepada kami [Mu'awiyah bin 'Amr] telah bercerita kepada kami [Abu Ishaq] dari [Al A'masy] dari [Abu Sufyan] dari [Jabir] berkata; saya telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbedaan antara seorang hamba dengan kekafiran atau kesyirikan adalah meninggalkan shalat."[21]
            Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Beda antara seorang muslim dan musyrik atau kafir adalah meninggalkan shalat.”
            Maka tidak ada alasan lagi bagi seorang mukmin untuk meninggalkan shalat, karena shalat adalah pembeda dari orang muslim dan kafir. Penulis pikir memang konyol rasanya meninggalkan shalat karena merasa tidak merubah tatanan sosial, padahal sifat shalat itu wajib yang apabila dikerjakan mendapat pahala jika ditinggalkan mendapat siksa. Maka tidak ada alasan apapun untuk meninggalkan shalat walaupun tidak bisa berdiri dan duduk sekalipun, dan Allah selalu memberi kemudahan kepada setiap hamba-Nya untuk mendirikan shalat.
            Tidak hanya shalat wajib saja, shalat sunnah teruma shalat malam (tahajjud) menjadi shalat yang penting untuk didirikan.
Dari ‘Ali, bahwasanya pada suatu malam Rasulullah saw membangunkan dia dan Fatimah putri Nabi saw lalu berkata: “Mengapa kalian tidak shalat malam (tahajjud)?” Maka aku (Ali) menjawab: “Wahai Rasulullah, jiwa-jiwa kami ada di tangan Allah, jika dia membangunkan kami pasti kami akan bangun juga”. Maka beliau saw berpaling pergi ketika kami mengatakan seperti itu dan beliau tidak berkata sepatah katapun. Kemudian aku mendengar ketika beliau pergi sambil memukul pahanya berkata: “Memang manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS. Al-Kahfi [18]: 54).”[22]
            Khusus untuk perempuan, perbedaan muslimah dengan orang-orang kafir selain shalat adalah pakaiannya. Pakaian yang mesti dikenakan oleh muslimah berbeda dengan yang lain, yakni harus mengulurkan jilbab.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”[23]
Telah diriwayatkan bahwa: “Wanita-wanita merdeka dan hamba sahaya di kota madinag, mereka biasa keluat di waktu malam untuk buang air besar di wc-wc dan di sela-sela pohon kurma, baik mereka itu merdeka atau hamba sahaya. Sementara itu di madinah ada segolongan orang fasik yang suka mengganggu hamba sahaya dan kadangkala mereka juga mengganggu wanita merdeka, apabila dikatakan kepada mereka, mereka menjawab kami kira dia itu seorang hamba. Maka Rasul dituntut untuk memerintah wanita merdeka supaya berbeda dengan hamba sahaya dalam pakaian.[24]
            Nyatanya masih banyak yang belum tahu jilbab itu seperti apa, banyak sekali yang mengetahui bahwa jilbab itu adalah kerudung. Padahal kerudung hanyalah penutup kepada atau rambut saja, sedangkan jilbab adalah pakaian yang menutup aurat perempuan, yakni seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
            Jilbab adalah pakaian yang menutup tubuh wanita diatas baju dan kerudung.[25] Sedangkan menurut Imam Zamakhsyari jilbab itu adalah baju yang panjang, yang lebih panjang dari kerudung. Maka jilbab bukan kerudung, dan yang Allah wajibkan atas perempuan muslim bukan berkurudung saja, tapi berjilbab. Namun jangan pula berlebih-lebihan dalam berpakaian, cukup dengan menutup aurat dan berpakaian yang pantas saja tanpa menambahkan pernah pernik disetiap sudut pakaian.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami [Al Hasan bin Ali Al Khallal] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Ma'mar] dari [Ayyub] dari [Nafi'] dari [Ibnu Umar] ia berkata, "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." 'Aisyah bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?" beliau menjawab: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal." 'Aisyah kembali menyelah, "Kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat!" beliau bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih." Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih."[26]
            Pakaian yang pantas adalah pakaian yang dapat dipakai untuk shalat, artinya pakaian yang menutup aurat dan boleh juga dipakai untuk shalat. Pakailah pakaian yang keurudungnya terjulur hingga menutupi dada, bahannya terbuat dari bahan yang ringan dan tidak membentuk tubuh serta menampilkan tubuh dari bayang-bayang cahaya, dan tidak memakai atribut yang berlebihan.
            Sesungguhnya manusia tidak sedang hidup di dunia milik mereka, karena seluruhnya milik Allah maka manusia sedang tinggal di bumi yang mana tidak lain adalah milik Allah. Saat seseorang mengunjungi rumah temannya tentu dia sebagai tamu harus bersikap sopan kepada pemilik rumah dan menta’ati peraturan rumah yang ada. Dalam hal ini pun sama, karena bumi adalah milik Allah maka setiap manusia wajib menta’ati perintah dan larangan-Nya.
            Perintah Allah sesungguhnya bermakna ibadah, dan ibadah yang Allah perintahkan harus sesuai tuntunan Rasulullah maka hanya dengan ilmulah tuntunan itu dapat diketahui, selain dari itu ilmu yang telah didapat harus disebarluaskan agar seluruh manusia mengetahui kebenaran. Salah satu pilar Islam selain shalat adalah dakwah, sebagaimana yang telah dijelaskan Husna Hisaba Kholid dalam bukunya Risalah untuk Pelajar Muslim: “Raihlah ilmu karena ia adalah pelita bagi yang tersesat, beribadahlah karena ia adalah bekal menuju akhirat, dan berdakwahlah karena ia adalah sebaik-baiknya lisan yang selamat.”[27] Dan adapula ungkapan dari KH. M. Isa Anshary: “Masyarakat Islam tanpa Dakwah ibarat raga tanpa nyawa.”
            Get Beauty with Syar’i adalah hal yang tidak mudah untuk dicapai, namun tidak mustahil juga karena Allah senantiasa membantu setiap hamba-Nya dan mendekatkan diri kepada mereka yang ingin dekat dengan-Nya. Untuk mencapai hal itu maka beribadahlah sesuai apa yang Rasulullah ajarkan, nantinya akan lahir karakter yang prestatif, mempunyai daya intelektual yang tinggi, dan militan menyampaikan kebenaran-kebenaran Allah.


[1] Penulis tercatat sebagai mahasiswa di UIN SGD Bandung jurusan Teknik Informatika, dan aktif dibeberapa organisasi Islam diantaranya; Ikatan Pelajar Persis Pusat, Himpunan Mahasiswa Persis UIN Bandung, dan Pemuda Persis Banjaran. Tulisan penulis yang lain dapat dilihat di http://pelajar-persis.blogspot.com/
[2] Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 132.
[3] Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. 2005. Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Hlm 275
[4] Musnad Ahmad. Bab 13 Sisa Musnad sahabat Anshar. Hadits No. 22415
[5] Daerobby. “Perubahan belum tentu Perbaikan”. Bandung: Risalah. No 9 TH 52. 2014. Hlm 54.
[6] Wakil Ketua Dewan Hisbah Persatuan Islam
[7] Aceng Zakaria. “Pentingnya Hidayatud-Din”. Bandung: Risalah. No 1 TH 53. 2015. Hlm 57-58.
[8] Shahih Bukhari. Bab 35 Perdamaian. Hadits No 2499.
[9] Qur’an Surat Al-Maidah [5]: 3.
[10] Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. 2003. Pustaka Imam Syafi’i. Hlm 18
[11] Ahmad D Marimba. “Pengantar Filsafat Pendidikan Islam”. Bandung: Alma’arif. 1962. Hlm 14.
[12] Guru Besar di Pesantren Persatuan Islam 31 Banjaran
[13] Bey Arifin. “Hidup sesudah Mati”. Jakarta: PT Kinta. 1982. Hlm 30-31.
[14] Moch Anwar. “Ada apa setelah Mati”. Bandung: AlMa’arif. 1981. Hlm 121.
[15] Nashruddin Syarief. “Islam tanpa Sesat”. Bandung: Tsaqifa Publishing. 2015. Hlm 36-38.
[16] Qur’an Surat Al-Israa [17]: 23-24
[17] Aqis Bil Qisthi. “Jangan Durhakai Orang Tuamu”. Surabaya: Mulia Jaya. Hlm. 17
[18] Qur’an Surat Az-Zumar [39]: 72
[19] Nurul Mubin. “Hiii… Anda pasti masuk Neraka!!!”. Jogjakarta: Garailmu. 2009. Hlm 113.
[20] Syeh Mustofa Masyhur. “Al Hayaatu Fii Mihraabi Ash Sholah (Berjumpa Allah lewat Shalat)”. Jakarta: Gema Insani Press. 1998. Hlm 18.
[21] Musnad Ahmad. Bab 6 Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Musnad Jabir bin Abdullah Radiallahu anhu. Hadits No 14451
[22] Shahih al-Bukhari kitab at-tahajjud bab tahridiin-Nabi saw ‘ala qyamil lail No 1172. Shahih Muslim kitab shalat al-musafrin bab ma ruwiya fiman namal-lail ajma’a ashbaha No 1854
[23] Qur’an Surat Al-Ahzab [33]: 59.
[24] Al-Maraghi 22:37
[25] Aceng Zakaria. “Tarbiyah An Nisa”. Garut: Ibn Azka Press. 2003. Hlm 83
[26] Sunan Tirmidzi. Bab 24 Baju. Menjulurkan ujung Pakaian Wanita. Hadits No 1653
[27] Husna Hisaba Kholid. “Risalah untuk Pelajar Muslim”. Bandung: Insan Rabbani. 2015. Hlm 130.