“Tak akan pernah ada orang kaya di dunia ini, jika tak ada orang yang miskin”

“Tak akan pernah ada orang kaya di dunia ini, jika tak ada orang yang miskin”

Oleh : ZamZam Aqbil Raziqin

            Di dunia ini sering sekali kita mendengar orang miskin atau pun orang kaya, entah siapa yang mendefiniskan bahwa orang yang tak punya harta itu miskin dan sebaliknya itu kaya, mungkin founding father kita yang sedang menikmati alam kubur. Atau mungkin juga nenek moyang kita yang kini sedang berwisata di alam sana. Tapi sudah lah itu tak terlalu penting untuk kita bicarakan.
            Mengingat perkataan di atas, sangat luar biasa sekali makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Padahal yang mengatakannya adalah seorang pelawak yang sering berkata kosong. Ini membuktikan bahwa sebuah perkataan yaitu “Undzur Ma Qola Wala Tandzur Man Qola”[2] masih berlaku hingga saat ini.
            Mengenai kutipan di atas, realitanya sekarang justru terkesan ironis, tak sedikit orang kaya yang tidak peduli terhadap orang miskin, acuh, bahkan melecehkan dan menghinakannya. Mereka tak sadar bahwa Alloh SWT telah menggaris besarkan takdir-Nya bahwa di dunia harus ada orang miskin agar orang kaya bersyukur kepada-Nya. Tapi jarang sekali orang yang sadar akan hal ini, orang miskin di anggap sampah Negara, di marjinalkan, berfikir harus di hilangkan. Padahal dibalik itu semua orang miskin berperan sangat besar terhadap kekayaan seseorang. Tidak akan ada yang pernah di sebut orang kaya di dunia ini jika tak ada orang miskin, lantas apakah sampai saat ini ada orang kaya yang berterimakasih kepada orang miskin atas kemiskinan nya ?
            Zaman memang sudah berbeda, jika dulu pada zaman rasul orang kaya itu merasa terbebani dengan kekayaannya, karena mereka sadar bahwa harta adalah sebuah amanah yang mesti di pergunakan di jalan Alloh. Tak sedikit orang kaya yang tawadlu, mereka tak pernah bangga dengan kekayaan mereka. Bahkan seorang utsman di ceritakan pernah ingin menjual 100 ekor unta nya, ketika ada orang yang menawarkan harga 2x lipat, utsman tidak mau, 3x lipatpun utsman tetap tidak mau. Utsman menginginkan untanya di beli dengan harga 10x lipat, sampai akhirnya tidak ada orang yang berani membelinya. Tapi ketika itu, ada seorang yang miskin lewat di hadapan utsman, dia mungkin berfikir orang ini butuh harta untuk hidup, maka aia sodaqohkan 100 untua nya kepada orang miskin itu. Kenapa utsman berani berbuat demikian? Karena utsman meyakini bahwa alloh akan mengganti 1 dengan 10x lipat, maka dengan cara menshadaqohkan unta itu, utsman sama saja sudah menjual untanya dengan harga yang 10x lipat.
            Tapi apakah betul kesalahan ini terletak pada diri orang-orang kaya ? ternyata tidak, umat miskinpun sama. Mereka lebih memilih untuk menghinakan diri mereka di hadapan manusia, mereka lebih memilih untuk pasrah tanpa bekerja. Maka sebetulnya bukan suatu kesalahan yang mutlak jika kaum miskin dicela, dihina, dimarjinalkan, atau di anggap sampah Negara. Karena memang begitulah efektifitas yang di timbulkan dari kegiatannya.
            Mari sekali lagi kita lihat ke belakang. Di zaman rasul, apakah ada orang yang miskin berdo’a agar dirinya kaya? Tidak, saya tidak pernah menemukan tarikh yang menjelaskan hal tersebut. ini membuktikan bahwa kaum miskin di zaman rasul merasa nyaman dengan kemiskinannya, mungkin 1) karena mereka tau bahwa kekayaan hanyalah ujian yang akan menjerumuskan mereka k dalam neraka 2) karena system ke khilafahan yang menjaga sirkulasi perekonomian, sehingga orang yang kekuranganpun tidak pernah merasa takut dengan kekurangannya 3) mereka sadar, bahwa dengan kemiskinan berarti mereka tidak diberi kesempatan untuk berbuat maksiat dengan harta.
            Ini sangat berbeda sekali dengan zaman sekarang. Setelah penulis mentafakuri, andaikan pengemis-pengemis yang ada di jalanan di Tanya satu persatu apakah ingin menjadi orang kaya, pasti jawabannya “IYA”. Ini membuktikan bahwa hegemoni keduniaan sudah singgah pada diri mereka. Mereka tidak sadar akan nikmat nya kemiskinan, yaitu dijauhkan dari maksiat dengat harta, bahwa dengan kemiskinan tidak perlu repot-repot memikirkan menjaga harta, dan lain sebagainya.
            Mari sekali lagi kita tinjau dari aspek ruhaniyyah nya. Dimana survey yang dilakukan kebanyakan orang kaya sibuk dengan pekerjaannya, dengan bisnisnya, dan dengan kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga terkadang penulis melihat masjid kantoran itu penuh nya hanya waktu shalat jum’at saja, itupun penuhnya oleh masyarakat sekitar. Ini menandakan bahwa aspek religious dari kaum orang kaya ini terganggu. Lalu penulis melirik aspek religious dari kaum orang miskin, gelandangan, pengemis, pengamen itu sering saya lihat masih berkeliaran ketika adzan dzuhur, jarang ada yang langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat, mereka asik dengan action-action mereka dijalanan, mengemis, meminta-minta dll. Terkadang penulis sering melihat dikala waktu adzan subuh, para pengemis itu masih tertidur pulas di balut karung di pinggir jalan, pagiharinya penulis lihat masih juga tertidur, jarang yang memang betul-betul giat dalam beribadah, atau minimal melakukan shalat lima waktu walaupun tidak tepat waktu, sulit rasanya menemukan hal tersebut.
            Lalu mari kita kembali melihat di zaman rasul, dimana tidak ada pandangan kaya atau miskin, seluruhnya rata rajin beribadah, para sahabat yang kekurangan harta mereka rajin beribadah seperti bilal, bahkan bilal menjadi muadzin nya rasululloh s.a.w lalu kita lihat seorang utsman, abu bakar dll, mereka sama giat dalam beribadah, jadi memang pada zaman rasul mereka mempunyai kesamaan yaitu giat dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.
            Maka dari itu, sudah sepatutnya lah kita orang yang merasa dirinya di beri kelebihan harta oleh Alloh segera bercermin pada orang-orang kaya di zaman rasul, agar kita tidak di sesatkan dengan harta tersebut, mari hargai orang orang yang kekurangan, sekali kali kita berterimakasih karena kemiskinannya, ini memang bisa dikatakan “gila” tapi mari kita lakukan suatu hal “pembebasan” atau sering sekali pemateri seminar motivasi mengatakan “Out of the Box” . maksudnya jangan mengurung diri kita untuk berbuat suatu hal yang positif. Walaupun memang nantinya kita tidak perlu mengatakan niat kita, karena sebaik baiknya niat adalah niat baik yang tidak di gembor-gemborkan, cukup alloh dan ke 2 malaikat yang tahu. Nah bagi orang-orang yang kekurangan, mari kita bercermin juga pada zaman rasul, jangan lah kita menjual harga diri kita pada manusia, karena sesungguhnya “Alloh itu temat Bergantung”[3] bukan orang yang naik mobil, bukan presiden atau siapapun. Jangan sampai kaum yang tak mampu menjadi kaum yang termarjinalkan, tapi justru kaum yang kekurangan harta harus menjadi tokoh peradaban Islam.


“Ketika bercermin maka tataplah wajahmu dengan sebuah senyuman, karena ketampanan yang diberikan tuhan mu itu adalah harta yang tak tergantikan. Walau memang ketampampanan adalah suatu hal yang relative, maka katakanlah cukup tuhanku yang menilai.”


[1] Sule dalam OVJ (Episod Si kaya dan Si Miskin)

[2] Ali bin Abi Thalib

[3] QS Al-Ikhlas : 2

Mohammad Natsir Sang Pemimpin Dunia

Oleh : Husna Hisaba Kholid

" siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْض الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan".

       “Seorang pemimpin hendaknya berakhlak tinggi dan berakar di hati Rakyat” itulah suatu penggalan nasehat seorang pemimpin dunia Mohammad Natsir kepada generasi muda untuk menjadi pemimpin dimasa depan. Siapa yang tak kenal dengan nama itu? Seorang perdana menteri pertama RI ini telah menggoreskan tinta sejarahnya mengenai keteguhan prinsipnya terhadap ideology kenegaraan yang ia nyatakan pada Negara  bahwa Islam sebagai dasar Negara.
       Putera minang gelar datuk sinaro panjang ini ikut mengukir sejarah perjuangan kemerdekaan tanah airnya, Indonesia . Juga tercatat dalam khazanah perjuangan dunia islam yang membentang dari maroko hingga merauke, di antaranya sebagai wakil presiden muktamar alam islami yang berpusat di Karachi (hakim, 1993 :161)
       Mohammad natsir dilahirkan dikampung jembatan berukir, Alhan Panjang Sumatera  Barat pada tanggal 17 juli 1908. Ia adalah putera pasangan sutan saripado-seorang pegawai pemerintah- dan khodijah. Mohammad Natsir pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya pada AMS A-2 (Algemene Midelbare School klasieke Afdeling, setingkat SMA sekarang) setelah ia menyelesaikan sekolah dasarnya di HIS (Hollandsch Inlandsche school) dan madrasah diniyyah di solok, Padang (1916-1923) dan pendidikan menengah pertamanya di MULO ( Meer litgebreid lager onderweijs) Padang (1923-1927). Selain  menelesaikan sekolah formalnya, Natsir juga pernah belajar di sekolah agama, di solok  yang di pimpin oleh tuanku Mudo Amin, seorang pengikut dan kawan Haji Rosul. Ia juga mengikuti pelajaran secara teratur yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad, seorang tokoh pembaharu di padang. Dari kegiatannya berguru kepada beberapa ulama pembaharu itu, dapat dikatakan bahwa natsir telah mengenal ajaran pembaharu islam ini sejak kecil (wildan, 1999 : 54).
       Watak keras dan keuletannya mulai tampak tatkala ia harus menempuh tiga pelajaran sekaligus  dalam dalam satu hari. Pagi, ia masuk sekolah umum di Hollandsch Inlandsche school (HIS). Sore di madrasah Diniyyah, belajar bahsa arab, dan malam hari ia mengaji. Guru-gurunya sangat senang melihat kesungguhan natsir, sehingga ia mampu menguasai kitab kuning, yang kemudian sangat berguna mengantar karir natsir sebagai tokoh dunia islam. (hakim, 1993 :119).
       Saat ia pindah ke Bandung, masuk AMS (A II), kegiatan “ngajinya” tetap ia lanjutkan. Di sinilah ia bertemu tokoh legendaries Ahmad Hasan, Pendiri Persatuan Islam (Persis), yang di akui sangat mempengaruhi alam pikirannya. Masih ada dua tokoh lagi yang membentuk pribadi dan pikiran Natsir, yaitu Haji Agus Salim dan Syekh Ahmad Syoekarti, pendiri Al-irsyad. Di sini pula ia mulai belajarpolitik, masuk Jong Islamiten Bond (JIB) (Hakim, 1993 : 119).
Sejak remaja  M.Natsir mencurahkan hidupnya dalam dunia dakwah, pendidikan, dan politik. Perjuangannya dalam menegakan Islam dan negara tercatat dalam sejarah baik dalam lingkup Nasional maupun internasional. Hal ini tergambar hingga akhir hidupnya yang ia curahkan bergelut dalam dunia dakwah bersama DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang ia dirikan pada tahun 1967.
       Dalam perjuangannya menata negara pada tanggal 3 april 1950 beliau berhasil mempersatukan Negara Indonesia menjadi Negara kesatuan dengan mosi integralnya yang ia perjuangkan dalam siding parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat), sehingga memungkinkan RI yang tela berbelah-belah menjadi 17 negara bagian (BFO) kembali menjadi Negara kesatuan yang wilayahnya membentang dari sabang sampai merauke.
       Tidak hanya di dalam negeri nama beliau harum di dunia internasional . Tahun 1956 beliau memimpin sidang muktamar alam islami yang berlangsung di damaskus, syiria, yang antara lain membahas agresi Israel di palestina, tahun 1967 beliau menggerakan Solidaritas Islam untuk pembebasan masjid Al-Aqsha dan pembebasan muslim palestina. Pada tahun itu juga beliau menjadat sebagai vice president world muslem congres yang bermarkas di Karachi, Pakistan. Dan banyak lagi perjuangan yang beliau lakukan semasa hidupnya yang memberikan arti besar kepada dunia islam baik secara nasional ataupun internasional.
Atas jasanya itu beliau mendapatkan beberapa penghargaan internasional yaitu, Menerima bintang Nichan Istikhor (grand Gordon) dari presiden Tunisia, Lamine Bey atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara pada tahun 1957, kemudian pada tahun 1980 ia menerima hadiah penghargaan internasional (jaaizatul malik faisal al-alamiyah)  dari lembaga hadiah internasional Malik Faisal di saudi Arabia, atas jasa-jasanya pengkhidmatan kepada islam untuk tahun 1400 hijriah, penghargaan serupa yang diberikan kepada syekh Abul hasan An-Nadwi dan Syeikh Abu A’la Al-Maududi. Dan pada tahun 1991 Menerima gelar doctor honoris causa dari universitas kebangsaan Malaysia, kuala lumpur dan universitas sience pinang, keduanya di Malaysia, dalam bidang pemikiran Islam.
      Mohammad natsir menghempaskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 6 februari 1993. Kematian beliau membuat menangis seluruh dunia, bahkan  seorang perdana menteri jepang dalam penggalan suratnya menyatakan  “Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal dunianya DR Mohammad Natsir. Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom Hiroshima, Karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam”. Begitu banyak sanjungan yang tercurahkan kepada beliau ketika itu dari pejabat-pejabat nasional maupun internasional bahkan dengan pemerintahan pun seaka-akan tak ada cacat tentang kepribadian beliau yang tergambar dengan hadirnya presiden soeharto dengan membawa satu tangkai bunga indah sebagai bela sungkawa atas kepergian sang pemimpin dunia itu.
       Jika saja  Mohammad Natsir masih hidup mungkin beliau akan bertanya kepada generasi muda islam “siapakah yang akan merintis perjalanan tuk melanjutkan kisah perjuanganku dalam menegakan agama islam?” tentu siapa lagi jika bukan kita para pemuda Islam.
Berikut sekilas tentang kronologi kehidupan M.Natsir :
Pendidikan
1916-1923 : HIS( Hollands inlandche school) di solok/ padang, madrasah diniyah di solok (sore hari)
1923-1927 : MULO (Meer Uitgebreid lager Onderwijs) , Padang.
1927-1930 :  AMS (Algemene midlebare school) jurusan weters klasieke Afdeling (AMS.A2) di Bandung. (beliau lulus dengan nilai tinggi dan berhak melanjutkan ke fakultas hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya agar mendapatkan title Meester in de rechten, atau ke fakultas ekonomi di Rotterdam, atau menjadi pegawai negeri dengan gaji yang sangat cukup. Tapi ketiganya di tolak oleh Natsir, karena ia lebih tertarik kepada masalah-masalah Islam dan Gerakan Islam
1927-1932 : Studi Islam pada  Persis (Persatuan Islam) di Bandung di bawah bimbingan Ust. A. Hassan.
1931-1932 : Kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs)
Perjuangan, kemasyarakatan dan pemerintahan (dalam negeri)
1998-1932 : Ketua JIB (jong islamieten bond) Bandung
1932-1942 : Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.
1940-1942 : Anggota dewan Kabupaten Bandung.
1942-1945 : Kepala Biro Pendidikan kota madya Bandung.
1949-1958 : Ketua umum Partai Masyumi
1950-1951 : Perdana Menteri pertama setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan.
1950-1958 : Anggota Parlemen  RI, Fraksi Masyumi.
1956-1958 : Anggota konstituante.
1958-1961 : Anggota PRRI (Pemerintah revolusioner Republik Indonesia)
1962-1964 : Dijebloskan ke dalam karantina politik di batu, jatim oleh rezim orde lama.
1964-1966 : Masuk Dalam tahanan RTM ( Rumah Tahanan Militer) Jakarta, bersama beberapa tokoh pejuang istiqomah, kemudian ke JL. Keagungan.
Februari ’67 : Bersama dengan para ulama dan zuama mendirikan yayasan dewan dakwah islamiyah Indonesia (DDII) dan menjadi ketua Umumnya
1970 : Ketua Badan Penasehat YaYasan Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor.
1980 : Anggota Dewan curator Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
            Anggota pendiri Universitas Islam Bandung (Unisba)
            Anggota pendiri Universitas Islam Sumatera Utara (Medan)
            Ketua /Penasehat rumah sakit Islam Ibnu Sina Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
            Dewan Pendiri Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta
            Dewan curator Universitas Islam Jakarta.
1984 :  Ketua badan penasehat Yayasan Pembina pondok pesantren Indonesia
1 agustus 1989 : Bersama dengan almarhum K.H Masykur memprakarsai berdirinya forum ukhuwah islamiyah (FUI) yang di dalamnya menghimpu para ulam dan zuama dari berbagai golongan, ormas, dan lain-lain.
                                                                                                                                                                                                      Wallahu A'lamu Bi Shawab

Apa Kabar Amanahku?

Apa Kabar Amanahku?

Oleh : Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Persis
Andi Muhammad Nurdin

“Ya Allah, aku bersumpah kepada-Mu bahwa besok aku akan bertemu musuh, lalu mereka membunuhku, membelah perutku, memotong hidung dan telingaku, kemudian Engkau akan menanyaiku, ‘Demi siapa semua itu?’,  aku akan menjawab, ‘Demi-Mu !’”
(Sahabat Rasulullah, dalam Sayyid Quthb)

http://photos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/552330_489825981044151_1492313309_a.jpg                Ikhwah Fillah Pengurus Ikatan Pelajar Persis yang Allah ridhoi, sungguh sepenggal kata diatas merupakan potongan sirah dari lisan mulia seorang sahabat Rasul yang berjuang dijalanNya. Jika antum tergetar membacanya, maka iman itu merangsang hati kita semua untuk malu kepada yang sudah pernah dilakukan oleh para sahabat dahulu dengan perjuangannya dibandingkan kita semua yang mengaku umat Nabi Muhammad Sallallaahu ‘Alaihi Wasallam dengan perjuangan di zaman ini.

                Sebagai pengurus tentulah kita semua tahu bahwa Ikatan Pelajar Persis ini tidak sekedar EO(Even Organizer) semata, karena jauh lebih bermanfaat daripada event-event yang ada yaitu melakukan pembinaan dan melaksanakan program kerja sesuai dengan amanahnya di departemen masing-masing. Sungguh ana melihat saat ini perlu disampaikan bahwa ana melihat kajian itu lebih mulia, bahwa dakwah itu lebih mulia, bahwa program untuk pelajar baik itu di internal Persis maupun eksternal pelajar se-Indonesia itu lebih mulia ketimbang event yang sifatnya insidental dan abstrak semata.

                Sedikit refleksi dari program-program yang ada, silahkan evaluasi dari janji-janji program kerja yang pernah dilantangkan di atas mimbar bebas saat Musykernas ikhwan fillah sekalian. Juga bagi semua pengurus yang ada, sudah seharusnya kita evaluasi atas semua yang sudah kita lakukan apakah sesuai dengan janji-janji program kerja kita untuk kemajuan pelajar di sekitar kita?, di Indonesia?, di Kota Bandung?, di Kabupaten Bandung?, di Bandung Barat?, di Garut?, di Tasik?, di Ciamis?, di Cianjur?, di Jakarta?. Wallaahu a’lam.

                Mungkin semangat jihad kita bukan lagi dalam aplikasi untuk membunuh ataupun berperang sebagaimana yang dikisahkan dalam semangat jihad sirah-sirah sahabat bersama Rasul dahulu. Adanya sirah(Sejarah) itu tidak sekedar dibaca dan selesai dalam kertas ujian begitu saja kawan-kawanku, Tetapi bagaimana kita mengambil gelora semangat para pendahulu kita untuk kemudian kita terapkan dengan gelora semangat yang sama namun dengan aplikasi dan tantangan dakwah yang berbeda kawan!.

Tidak banyak yang ingin ana tuliskan disini, hanya mengingatkan, apa kabar amanahku?, kita bukan EO tapi ada yang lebih mulia daripada itu saja..
Apa Kabar Amanahku?
Sehatkah?
Lupakah?
Atau aku dilupakan?
Tetap Semangat Ikhwah Fillah.. Tetaplah Produktif atas nama Ikatan Pelajar Persis !

Karakteristik Ar-rasikhuna fi'l i'lmi:Kajian semantik Ar-Rasikhuna fi'l i'lmi dalam Surat Ali Imron ayat 7

      Oleh : Husna Hisaba Kholid

 Kalimat “Ar-Rasikhuna fi’l I’lmi”  sudah tidak asing lagi dalam tubuh ikatan pelajar persis. Terlebih kalimat ini menjadi visi dan lambang semangat  perjuangan tersendiri bagi salah satu organisasi kepelajaran ini. Visi ini penting adanya sebagaimana Suwaidan dan Basyarahil (2005:41) menuturkan “ Visi merupakan gambaran pikiran yang membentuk masa depan yang diinginkan” . Namun sayangnya selama dua tahun lebih berjalan sejak tahun 2010 kalimat ini terasa hanya sebagai penghias suatu lambang keorganisasian saja, tanpa menyadari konsep-konsep yang digambarkan oleh Al-Qur’an bagaimanakah karakteristik dari sifat “Ar-Rasikhuna fi’I’lmi” itu.
Selaras dengan perkataan Napoleon Bonaparte (dalam Suwaidan dan Basyarahil,2005:41) “Seseorang tidak akan mampu membimbing manusia tanpa menjelaskan masa depan mereka .Pemimpin adalah penjual harapan”  Sehingga wajar saja dalam tataran praktis organisasi ini sulit menerjemahkan isi makna tersebut kepada para pelajar terlebih kepada anggota ikatan pelajar Persis itu sendiri.
        dari perspektif pengalaman historis tersebut munculah suatu kesadaran bagi penulis untuk mengangkat makna tersebut berdasarkan interpretasi-interpretasi para ahli  tafsir (khususnya tafsir bi’l matsur lihat dalam tafsir ibnu katsir hal 6) berhubung kalimat tersebut disadur dari bahasa al-quranu’l karim Surat Ali imran ayat 7.
       Namun, ada baiknya jika kita memahami terlebih dahulu makna leksikal  (makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun lihat, dalam linguistik umum karangan Abdul Chaer 2003 : 289) dari tiap kata yang terdapat dalam kalimat “Ar-Rosikhuna fi’l ilmi” berdasarkan para ahli lughoh (linguistik) bahasa arab.
  1. Analisis Leksikal “Ar-Rosikhuuna fi’l I’lmi”
kalimat “Ar-Rosikhuuna fi’l I’lmi” jika kita uraikan berdasarkan jenis  kalimat bahasa arab terdiri dari  :
  • الراسخون (Ar-Rasikhuna) =الإسم   (yaitu kata yang menunjukan suatu arti dan tidak terikat dengan waktu, lihat  Zakaria 1990 : 2)
  • فى (Fi) = الحرف (yaitu kata yang tidak akan di fahami maknanya kecuali berhubung dengan kata yang lainnya, lihat  Zakaria 1990 : 2)
  • العلم  (Al-‘ilmi) = الإسم
       Kata الراسخون (Ar-Rasikhuna) ini adalah bentuk  ismu’l fa’il (kata yang menunjukan pelaku) dari kata رسخ (rosakho) (lihat bentuk ismu’l fa’il dalam kitabu’tashrif karangan A.Hasan hal.30).
Az-Zubaidi (tt:257 jilid 7) menuturkan رسخ (rosakho)mempunyai makna
ثَبَتَ ) في موضعه" )"
“(tetap) pada satu situasi” pengertian ini serupa dengan pengertian yang dikemukakan oleh Al-Manzhur (tt:18 jilid 3) dalam lisanul a’rabnya. Sedangkan  Ar-Raghib (2010:148) ia menuturkan pengertian رسخ (rosakho) dengan lebih tegas.
"رسوخ الشيء: ثباته ثباتا متمكنا"
“Rusukhu’syaii”: (bermakna) keteguhannya dangan keteguhan yang kokoh”
       Sedangkan في (Fi) ini adalah salah satu huruf dari sepuluh huruf jar sebagaimana penuturan dari Al-Ghulayaini (1989:180), ia pun menuturkan huruf tersebut memiliki tujuh makna namun “secara hakiki bermakna Zharfiyah” (keterangan tempat) (lihat penjelasannya dalam Jami’u’Durus Al-‘arobiyah hal 167 dan 180 jilid 3)
Adapun kata العلم (Al-‘ilm) Ar-Raghib (2010:258) menuturkan.
"العِلْمُ : إدراك الشيء بحقيقته"
“Al-‘ilmu : (bermakna) menghasilkan sesuatu (sesuai) dengan hakikat sesuatu itu. Selanjutnya Ar-Raghib (2010:258) membagi ilmu kepada dua segi.
"والعِلْمُ من وجه ضربان : نظريّ وعمليّ.
فالنّظريّ : ما إذا علم فقد كمل ، نحو : العلم بموجودات العالَم.
والعمليّ : ما لا يتمّ إلا بأن يعمل كالعلم بالعبادات"
“Ilmu dari satu segi terbagi kepada dua bagian : nazhari dan  a’mali, nazhari : apabila telah diketahui maka sungguh telah sempurna seperti : ilmu pada segala yang ada di alam, adapun ‘amali : ialah ilmu yang tidak akan sempurna kecuali setelah diamalkan seperti ilmu pada ibadah”
Adapun jika ketiga kata ini (Ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi) berada dalam satu kalimat, Az-Zubaidi (tt :257 jilid 7) melanjutkan penjelasannya, jika kata رسخ (rosakho) ini dikorelasikan dengan kata العلم (Al’ilm) seperti dalam kalimat “Ar-rosikhuna fi’l I’lmi” maka kata itu bermakna.
"والرَّاسِخ في العِلْم : الّذي دَخَلَ فيه دُخُولاً ثابتاً" 
“Wa’rosikhuna fi’l’ilmi : (bermakna) yang mendalami pada suatu ilmu dengan pendalaman yang kokoh”. Pengertian ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur (tt:18 jilid 3). Sedangkan Ar-Raghib (2010:148) berbeda dengan Al-Manzhur (tetapi secara substansi sama) ia menuturkan.
"والراسخ في العلم: المتحقق به الذي لا يعرضه شبهة"
“Wa’rosikhuna fi’l’imi: (Bermakna)  memiliki (pendirian) yang teguh terhadap ilmu (serta) tidak terpengaruh dengan hal yang syubhat (samar).
  1. Analisis Semantik “Ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi” dalam surat Ali Imron ayat 7 
“ Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

       Mengenai ayat ini Ibnu katsir (1994:460) menuturkan.
“Allah swt mengkhabarkan bahwasannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat-ayat yang muhkamat dia itu ialah ummu’lkitab yaitu ayat yang terang dan jelas pengertiannya tanpa ada kerancuan di dalamnya sedikitpun, dan di dalam al-quran pula terdapat ayat-ayat yang lain yang meragukan kebenarannya kepada kebanyakan manusia atau sebagian dari mereka, maka barang siapa mengembalikan apa yang meragukan itu kepada hal yang jelas darinya dan memutuskan yang muhkam itu kepada yang mustasyabih maka ia telah mendapatkan hidayah namun jika sebaliknya maka hal itupun terbalik, oleh karena itu Allah ta’ala berfirman (hunna ummu’l kitab) yaitu pokok dari al-quran yang kembali kepada ayat muhkam di saat meragukan (wa ukhoru mutsyabihat) yaitu pengertian dari ayat mutasyabih itu mengandung kesesuaian dengan ayat yang muhkam, sungguh ia pun mengandung sesuatu yang lain dari segi lafadz dan susunan bukan dari segi yang dimaksud”.

       Dalam ayat ini Allah swt. Mengemukakan problematika yang akan di alami oleh kebanyakan manusia mengenai ayat-ayat mutasyabihat. Maka dari itu Allah swt. memberikan gambaran, sebaik-baiknya keputusan mengenai problematika ini ialah mengimani ayat-ayat mutasyabihat itu merekalah “Ar-rasikhuuna fi’l ‘ilmi”.
Az-Zubaidi (tt:257 jilid 7) menuturkan tentang kalimat “Ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi” dalam surat ali imron ayat 7 tersebut sebagai berikut.
"{ الرَّاسِخُونَ فِى الْعِلْمِ } ( آل عمران : 7 ) وهو مَجاز ، وقيل : هم المُدارِسون في كِتَاب الله"
ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi: dia itu adalah majaz, dan telah dikatakan : mereka ialah yang mempelajari kitab Allah”. Pengertian ini sama halnya dengan pendapat Az-Zuhaily (tt :150 jilid 3) yang mengemukakan bahwa.
"وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ استعارة أيضا، شبه المتمكنين في العلم بالأشياء الثقيلة الراسخة في الأرض"
                       
Ar-rasikhuna fil’ilmi itu adalah (bentuk) isti’aroh juga, penyerupaan orang-orang yang kokoh pada ilmu dengan sesuatu yang berat lagi berakar ke dalam bumi”

       Ibnu nujaih (dalam Ibnu Katsir 1994 :463) dari mujahid menuturkan.

"والراسخون في العلم يعلمون تأويله ويقولون آمنا به"
Ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi ialah mereka yang mengetahui ta’wilnya dan mengatakan kami beriman dengannya” penuturan Ibnu Nujaih sebagai cirri dari ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi ini selasas dengan perkataan Umar bin Abdul Aziz (dalamAl- baghawi tt:th) yang mengatakan.
"وقال عمر بن عبد العزيز: في هذه الآية انتهى علم الراسخين في العلم بتأويل القرآن إلى أن قالوا آمنا به كل من عند ربنا"
“telah berkata Umar bin Abdul Aziz :dalam ayat ini menunjukan puncak keilmuan yang rosikh terhadap ilmu dalam metakwilkan al-quran ialah sampai mereka berkata kami beriman dengannya semuanya dari sisi tuhan kami”
            Penjelasan Ibnu Nujaih dan Umar bin Abdul Aziz ini menunjukan bahwa seseorang yang memiliki karakteristik “ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi” itu berada dalam kepuncakan keilmuan islam sehingga mengikrarkan dirinya dengan beriman kepada segala sesuatu yang disampaikan oleh Allah swt. Melalui Rasulullah saw.
            Tentulah kiranya untuk zaman sekarang, puncak keilmuan ini tidak bisa di pandang sebelah mata, selain harus menguasai bahasa arab, ilmu-ilmu-ilmu yang lainnya sudah semestinya dimiliki oleh orang yang memiliki karakteristik ini seperti u’lumu’l quran, musthalah hadits, ushul’fiqh, ilmu tauhid, dan sebagainya
Selanjutnya Al-baghawi (tt:th) melanjutkan penjelasanya.

"قوله تعالى { وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ } أي الداخلون في العلم هم الذين أتقنوا علمهم بحيث لا يدخل في معرفتهم شك"

“firmannya ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi yaitu orang-orang yang mendalami ilmu yeng mereka itu yakin dengan ilmu mereka dimana tidak ada keraguan yang mempengaruhinya”. Berdasarkan penjelasan ini sebagai orang yang memiliki karakteristik “ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi”maka ia akan menolak pemahaman-pemahan yang meragukan kebenaran dan keotentikan islam yang banyak tersebar saat ini seperti sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
 Al-baghawi (tt:th) pun menyadur perkataan Anas bin Malik ketika ditanya mengenai ayat ini.

"وسئل مالك بن أنس رضي الله عنه عن الراسخين في العلم قال: العالم العامل بما علم المتبع له"

telah ditanya Anas bin Malik ra. Tentang ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi ia berkata : orang yang berilmu lagi mengamalkan berdasarkan apa yang ia ketahui dengannya” زia pun meneruskan penjelasanya dalam tafsirnya itu.

"وقيل: الراسخ في العلم من وجد في علمه أربعة أشياء: التقوى بينه وبين الله، والتواضع بينه وبين الخلق،والزهد بينه وبين الدنيا، والمجاهدة بينه وبين نفسه"

“telah dikatakan : ar-rosikh dalam ilmu ialah orang yang mendapatkan ilmunya empat perkara yaitu : at-taqwa antara dirinya dan antara Allah, at-tawadlu antara dirinya dengan makhluk, az-zuhdu antar dirinya dengan dunia, dan al-mujahadah antara dirinya dengan jiwanya”

      Sedangkan Ar-raghib (2010:148) beliau memberikan penjelasan dengan karakteristik dalam surat yang lain yang dimiliki oleh ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi ini, ia menjelaskan bahwa “ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi ialah yang disifati dengan firman Allah ta’ala dalam surat al-hujurat ayat 15.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat:15)

     Adapun Az-zuhaili (tt:th) memberikan gambaran  atas teguhnya keimannan Ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi ini  dengan doa yang dinyatakan pada ayat selanjutnya dari surat ali imron ayat 7 sebagai pengokoh keteguhannya, ia menjelaskan.

        "ثم ذكر دعاء هؤلاء الراسخين للثبات على فهم المتشابه وهو: رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنا ..   الآية، أي إن الراسخين في العلم المؤمنين بالمتشابه يطلبون من اللّه الثبات على الهداية، والحفظ من الزيغ بعد الهداية، وهبة الرحمة والفضل من اللّه، والتوفيق إلى الخير والسداد، إنك أنت الوهاب"
“kemudian dinyatakan doa orang-orang yang rosikh untuk keteguhan terhadap pemahaman yang mutasyabih ttersebut dengan doa :tuhan kami janganlah engkau condongkan hati-hati kami….al-ayat, yaitu sesuangguhnya orang-orang yang rosikh terhadap ilmu yang beriman kepada yang mutasyabih mereka meminta kepada Allah keteguhan atas hidayah, perlindungan dari condong (kepada kesesatan) setelah (mendapa) hidayah, pemberian rahmat dan karunia,  dan petunjuk kepada kebaikan dan kebenaran, sesungguhnya engkau maha pemberi”
Berdasarkan  penjelasan para mufasir di atas dapat digambarkan beberapa kakteristik dari “Ar-rasikhuna fi’l ‘ilmi yang dapat penulis fahami dalam surat ali imron ayat 7 tersebut sebagai berikut:
  1. Orang-orang Memahami dengan benar kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw serta mengamalkannya.
  2. Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat
  3. Orang-orang tidak terpengaruh kepada pemahaman sekularisme, pluralisme dan liberalisme
  4. Orang-orang yang membenarkan keyakinan islam
  5. Orang-orang dengan istiqomah mendalami ilmu islam
  6. Orang-orang yang mempelajari islam untuk meninggikan agama islam dalam keyakinan bukan berada dalam keraguan dan kesesatan
  7. Orang-orang yang memiliki sifat taqwa kepada Allah swt., tawadlu kepada sesamam manusia  ,zuhud terhadap dunia, dan mujahadah terhadap dirinya sendiri
  8. orang-orang yang beriman kepada Allah swt dan rasulnya serta berjihad dengan harta dan jiwanya.
  9. Dan orang-orang yang senantiasa berdo’a 
 "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)".
."Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (Ali imran :8-9)

Wallahu a’lamu bi shawab

Daftar Pustaka

Al-Qur’ani’l karim.
Al-Ghulayain, 1989. Musthafa, Jami’ud-durus, Beirut. Al-a’rabiyat Al-Manshurat Al-Maktabat Al-‘ashriyat.
Ali,Atabik dan A.Zuhdi Muhdhor.1998. Kamus Kontemporer :Arab –Indonesia.Yogyakarta. Pondok Pesantren Krapyak.
Al-Asfahani, Ar-Raghib.2002. Mu’jam Mufradat Alfazh Al-Qur’an.. Beirut. Daru’l fikr
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Umar basyarahil, Faishal dan Thariq M.Suwaidan. 2005. Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Penerjemah : M.Habiburahim. Jakarta. Gema Insani.
Hasan.A.tt. kitabu’tashrif. Bangil. Rabani bangil.
Ibnu Al-Manzhur.1988. Lisanu’l A’rab. Beirut. Daru’l- Ihyau’t Turats Al’A’rabiy.
Ibnu katsir. 1994. Tafsiru’l qurani’la’zhim. Kuwait. Maktabah daru’l faiha
Munawwir, Ahmad Warson.1997. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta. Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Zakaria,A.1997. al-kaafi fi Ilmi’ Sharfi. Garut.Pesantren Persatuan Islam Garut.
Tafsir Al-munir, Tafsir Al-baghawi, taaju’l a’rus, yang penulis sadur dari Maktabah syamilah.