Oleh: Husna Hisaba Kholid (Ketua Umum Ikatan Pelajar Persis)
a. Pendahuluan
“Man‘arafa nafsahu qad ‘arafa rabbahu”
begitulah ungkap al-Ghazali, agar manusia mampu mengenal tuhannya.
Mengenal diri sendiri sebagai manusia, merupakan hal yang sangat penting
dan tak boleh terlewatkan bagi manusia itu sendiri. Sangatlah
disayangkan, jika masa kehidupan manusia telah usai, namun ia tidak
pernah sama sekali mempertanyakan tentang dirinya sendiri. Siapakah dia?
Untuk apakah dia hidup? Dan dimana kah akhir tempat kehidupannya
akan berlabuh? Pertanyan-pertanyaan inilah yang mesti diungkap, agar
manusia mengerti terhadap eksistensinya sendiri di dunia ini.
b. PengertianManusia
Manusia dalam istilah bahasa arab, diantaranya diungkapkan dengan kata insan. Ar-Raghibal-Asfahani mengemukakan beberapa alasan mengapa manusia dinamakan dengan insan. Ia menyatakan “Manusia
dinamakan demikian karena ia itu diciptakan (dengan) karakter yang tidak
mampu berdiri kecuali (bantuan) manusia lainnya, oleh karena itu
dikatakan, manusia itu madani (beradab) secara tabiat dari segi,
tidak akan beres (urusan) sebagian dari mereka kecuali (adanya) sebagian
yang lain dan tidak mungkin ia melaksanakan seluruh usahanya sendiri.
Ada juga yang mengatakan (dinamakan demikian) karena manusia itu merasa
senang terhadap sesuatu yang akan menyukainya. Dan ada juga yang
mengatakan Insan itu dari bentuk If’ilan dan asalnya insiyan, dinamakan demikian karena dia itu setelah berjanji, dia itu lupa”[1].
Berbeda dengan Muhamad Bahaim Salim, ia menyatakan: “Kalimat Insan secara bahasa berasal dari anas, fi’ilnya anisa yaitu tenang, diam dan bahagia. Maka Insan (manusia) itu sumber ketenagan dan kebahagiaan, sehingga ia akan bahagia dan tenang jika bertemu dengan kelompok sejenisnya”[2].
Prof. Dr. AhmadTafsir memberikan pengertian yang dimaksud dengan manusia itu sebagai berikut.
“Manusia
adalah makhluk ciptaan Allah; ia berkembang dipengaruhi oleh pembawaan
dan lingkungannya; ia bekecenderungan beragama. Itulah antara lain
hakikat wujud manusia. Yang lain adalah bahwa manusia itu adalah makhluk
utuh yang terdiri atas jasmani, akal dan ruhani sebagai potensi pokok”[3]
Sedangkan Endang Saefudin Anshari tatkala membedakan antara hewan dan manusia ia menarik beberapa kesimpulan.
1. Manusia adalah sejenis hewan juga.
2. Manusia memiliki perbedaan tertentu dengan hewan lainnya.
3. Ditinjau dari segi jasmaniah, perbedaan antara manusia dan hewan adalah gradual, tidak fundamental.
4. Ditinjau dari segi rohaniah, perbedaan antara manusia dan hewan adalah prinsip dan asasi
5. Keistimewaan
ruhaniah manusia dibandingkan dengan hewan terlihat dalam kenyataan
bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, berpolitik, memiliki
kebebasan atau kemerdekaan memilih, sadar diri, memiliki norma, dan
sering bertanya. Secara tegas manusia memiliki kebudayaan.[4]
c. Perjalanan Kehidupan Manusia
Sebagai manusia, patutlah kita bertanya kepada diri sendiri. Darimanakah
kita berasal? Kapankah kita ini ada di dunia ini? Siapakah yang
menciptakan kita? Hal itu semua dipertanyakan, karena kita semua
menyadari, bahwa sesuatu yang ada, mustahil berasal dari sesuatu
yang ada. Tidak mungkin sesuatu itu terwujud dengan sendirinya, tanpa ada
sebab yang mewujudkannya.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. dari tiada. Ia asalnya tak berwujud apa-apa, kemudian Allah lah yang menjadikannya ada.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu
belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (Q.S al-Insan : 1)
“Tuhan berfirman:
"Demikianlah." Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan
sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (diwaktu
itu) belum ada sama sekali." (Q.S Maryam : 9)
“Allah Swt. Menginformasikan tentang manusia, bahwasannya Allah lah yang
telah mewujudkannya, dimana (dahulu) ia bukanlah sesuatu yang disebut
apa-apa, karena kerendahan dan kehinaannya”[5]
Kemudian selanjutnya, manusia ini diwujudkan oleh Allah dengan bentuk
yang begitu sempurna. Kesempurnaan bentuk manusia terwujud dari dua unsur
yang Allah berikan kepada manusia yaitu unsur jasad dan ruh.
“(Ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur
dengan bersujud kepadanya” (Q.S Shad 71-72
“Hakikat manusia yang dapat kita sebut sebagai dua sekutu : memiliki dwi
hakikat, yaitu jiwa dan raga, jiwa akali dan raga hewani; dan bahwa dia
adalah ruh dan diri jasamani sekaligus, dan ia mempunyai kepribadian yang
disebut dengan diri (self); bahwa ia memiliki sifat-sifat yang mencerminkan sifat-sifat penciptanya.”[6]
“Unsur tanah mendorong manusia untuk selalu menikmati kesenangan dan
keindahan yang dikeluarkan oleh bumi/ tanah, sementara unsur ruh
mendorongnya untuk menggapai petunjuk langit. Unsur jasad membuatnya
cocok untuk menerima tugas memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di muka
bumi. Seandainya hanya unsur ruh yang dominan, seperti malaikat, maka
manusia tidak akan terdorong melakukan aktifitas menggali kandungan bumi
dan bekerja untuk memakmurkannya. Dan dengan unsur ruh yang dimilikinya
manusia siap untuk menuju alam kesempurnaan dan menjadi paripurna.” [7]
Dalam tahap penciptaan manusia, Dr.Nashrudin Syarief. Mpd.i menjelaskan
dua tahap penciptaan manusia ia menjelaskan, “Pada tahap pertama
al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tiada, dari substansi
organik yang rendah dengan sebutan tanah liat gelp (Shalshal/hama’), debu dan lumpur (turab/tinlazib), lalu ditiupkan padanya ruh dari Allah swt.”[8]
“Dan(ingatlah),
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal)
dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”(Q.S Al-Hijr 28-29)
Beliau punmengatakan bahwa pada tahap ini pula Allah menjelaskan
tentang persaksianmanusia bahwa Allah swt. sebagai Rabnya, serta
pemberitaan, bahwa manusia akanmemegang amanat yaitu sebagai khalifah
yang akan mengabdi kepada-Nya. [9]
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu? "Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi. "(Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini(keesaan Tuhan)" (Q.S Al-A’raf : 172)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh” (Q.S Al-Ahzab : 72)
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al-Baqarah : 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(Q.S Adz-Dzariat : 56)
Adapun yang dimaksud dengan khalifah ialah.
الخليفة:من يخلف غيره ويقوم مقامه في تنفيذ الأحكام
“Khalifah ialah seseorang yang menjadi pengganti yang lainnya dan menempati kedudukannya dalam melaksakan hukum-hukumnya”[10]
Dalam fase pertama ini, manusia dipersiapkan oleh Allah menjadi makhluk
yang paripurna. Ia diciptakan melalui kesempurnaan bentuk jasad dan ruh.
Kemudian ia diberikan suatu amanat penting, yang tidak diberikan kepada
makhluk yang lainnya selain manusia, yaitu sebagai khalifah di muka bumi.
Andaikan Allah berkehendak –Maha agung kekuasan-Nya- untuk menjadikan
malaikat sebagai khalifah di muka bumi, mudah saja hal itu bagi Allah.
Akan tetapi Hanyalah Allah yang mengetahui hikmahnya, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia. Sungguh Allah telah memuliakan manusia dengan
menjadikannya sebagi khalifah di muka bumi, agar manusia menunaikan
hukum-hukum-Nya dan melaksakan kehendak-Nya dalam memakmurkan bumi dan
menebar kebaikan.[11] Bahkan,
dalam fase ini pun Allah mengabarkan bahwa malaikat diperintahkan
untuk tersungkur dengan bersujud kepada manusia. Bukankah kedudukan ini
merupakan kedudukan yang mulia bagi manusia? Namun, satu kedudukan yang
tak boleh terluputkan oleh manusia, dimana ia sebagai ‘abid (hamba). Sebab hanya Dialah Allah yang Maha Menguasai setiap jiwa hamba-hamba-Nya.
“Sementara
pada tahap kedua, manusia diciptakan dalam proses yang dapat dicerna
oleh ilmu pengetahuan: sperma disimpan dalam Rahim yang kokoh, kemudian
diubah menjadi segumpal darah, yang kemudian dibungkus dengan tulang dan
daging”[12]
“Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Q.Sal-Mu’minun : 12-14)
Dalam kehidupan di dunia manusia mesti mampu memeras waktunya untuk
menanam segala amal kebaikan guna menuai panen kelak di akhirat.
Potensi-potensi jasadiah yang mereka miliki mesti difungsikan dengan
sebagaimana mestinya, sebab tentu penciptaan jasad yang sempurna ini
bukanlah penciptaan yang sia-sia.
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”(Q.S Al-‘Ashr : 1-3)
“Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S Al-A’raf : 179)
Pasca kehidupan manusia di dunia berakhir, akhirnya manusia pun akan
kembali kepada pemiliknya, yaitu Allah Swt. Ia akan dibangkitkan untuk
mempertanggung jawabkan atas apa yang telah ia perbuat semasa hidupnya.
Jasad yang Allah berikan pun kelak akan menjadi saksi atas
perbuatan-perbuatannya. Jika hati, lisan dan anggota tubuhnya tersebut
baik maka ia akan mendapatkan kebaikan dan kehidupan kekal di surga atas
izin-Nya. Namun sebaliknya, jika unsur-unsur tersebut buruk maka ia
punakan mendapat kehinaan di neraka atas izin-Nya, kecuali Allah
Swt. mengampuninya.
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya
kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian
akand ibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (Q.Sal-Mu’minun : 15-16)
“pada hari(ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apayang dahulu mereka kerjakan” (Q.S An-Nur :24)
“Maka
adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam
kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan
(kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah. Dan tahukah
kamu apakah neraka hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas” (Q. SAl-Qari’ah : 6-11)
d. Kesimpulan
Manusiaialah makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt dengan bentuk jasad
dan ruh. Ia membutuhkan keramahan manusia lainnya dalam hidup, ia
memiliki tabi’at nisyan(lupa) dan ia pun bermakna sebagai sumber
kebahagiaan dan ketenangan. Ia telah bersaksi dihadapan Allah bahwa Allah
adalah Rab, serta ia diberikan suatu amanat yang tidak mampu dipikul
oleh makhluk selainnya yaitu sebagai khalifah. Namun, perannya sebagai ‘abid
pun tak boleh terlupakan, agar ia selalu tunduk dan patuh kepada
aturan-Nya. Manusia melalui kenikmatan yang telah Allah berikan, dituntut
untuk memanfaatkan segala potensinya sebaik mungkin untuk menanam segala
kebaikan di dunia, agar ia mampu menuai panen yang berlimpah diakhirat.
Sebab, ia takan selamanya hidup di dunia, suatu saat ia pun akan kembali
kepada pemiliknya yaitu Allah Swt. untuk mempertanggung jawabkan
amal perbuatannya selama hidup di dunia. Wallahu a’lam bi Shawab (18Desember, 2014)
[1], Al-RaghibAl-Asfahani, Mufradat fi al-Fadz al-Qur’an. (Beirut: Dar al-Fikr, 2010) Hal 25
[2] Muhamad Bahaim Salim, Al-Qur’an al-Karim wa al-Suluk al-Insani.(Kairo : al-Haiahal-Misriyah, 1987.) Hal. 11
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2013) Hal. 53
[4] Endang Saefudin Anshari, Wawasan Islam ; Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. (Jakarta : Gema Insani, 2004) Hal. 7
[5] Ibnu Katsir, Tafsiral-Qur’an al-‘Azhim (Riyad: Maktabah Dar al-Salam, 1994). Jilid 4 Hal. 583.
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme. Penj : Dr. Khalif Muammar, M.A. (Bandung: Pimpin, 2010) Hal. 180
[7] Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam. (Jakarta : Pusat Studi al-Qur’an, 2013) Hal. 11
[8] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal. (Bandung: Persis Pers. 2013). Hal 213
[9] Lihat, Ibid. hal 214-215
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir. (Maktabah Syamilah). Jilid I Hal. 124
[11] Muhamad Bahaim Salim, Al-Qur’an al-Karim wa al-Suluk al-Insani. (Kairo: al-Haiahal-Misriyah, 1987) Hal. 16
[12] Lihat, Ibid. Hal 216
EmoticonEmoticon