Catatan
Akhir Tahun
Menjadi
Hamba Pensyukur dan Penyabar
Oleh;
Hafidzin Hafidz*
(PP IPP
Bidang Komunikasi & Informasi)
Imam Al-Ghazali mempersonifikasikan (mengumpamakan) waktu dengan
makhluk yang dapat berbicara.
Seandainya
waktu dapat bicara maka dia akan berkata kepada seluruh manusia dan jin bahwa
aku adalah waktu yang baru, pergunakanlah aku dengan sebaik-baiknya.
“Ucapan”
waktu tersebut merupakan suatu kepastian yang yang telah ditetapkan oleh hukum
Allah di alam semesta ini. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan seterusnya akan senantiasa baru.
Satu detik yang lalu, satu detik sekarang, dan satu detik yang akan datang
merupakan tiga detik yang berbeda. Ketiganya merupakan detik yang baru di
masanya dan tidak akan pernah kembali menyertai aktivitas makhluk-Nya. Demikian
pula dengan menit, jam, hari, dan seterusnya. Entah berapa juta kali hari
jum’at berulang setiap pekan, namun semuanya tidak ada yang sama. Berjuta-juta
hari jum’at merupakan jutaan jum’at yang baru.
Hal yang
lebih menarik dari memahami “ucapan” waktu tersebut adalah dirinya sebagai
mahluk yang baru. Dia (waktu) akan terus berjalan mengiringi denyut kehidupan
setiap mahluk. Dia tidak pernah berhenti beraktivitas, walaupun makhluk – makhluk
di alam semesta sedang beristirahat, bersantai, berleha–leha, dan sebagainya.
Ketika makhluk melakukan sesuatu lalu mengulanginya karena terjadi sesuatu
kesalahan maka hal itu dilakukan dengan waktu yang berbeda walaupun nama
perbuatanya sama. Dia tidak akan pernah kembali walaupun hanya sedetik. Ali bin
Abi Thalib r.a pernah berkata, “Dunia adalah yang ada di belakang dan akhirat
yang ada di hadapan”. (fathul bari, juz 11).
Tahun
hijriah sebagai penaggalan yang cenderung sering di lupakan oleh pemiliknya
(baca: umat islam) hal ini terbukti ketika pesantren persis khususnya yang
dahulu kala menggunakan system penanggalan hijriyah, sekarang beralih pada
rujukan kalender qomariyah, memaknai hakikat waktu itu makhluk yag senantiasa
baru namun manusia kebanyakan menyadari ketika telah berlalu beberapa pekan
dari tahun 1436 menuju 1437 H..
Setiap hal
yang telah terjadi pada tahun yang lalu tidak akan berulang, namun hal tersebut
akan sangat berarti bagi makhluk yang mau menjadikan cermin dalam menjalani
kehidupannya di masa yang akan datang. Waktu merupakan salah satu anugrah yang
diberikan Allah kepada kita dan makhluk lainnya. Tanpa mengharapkan pamrih dari
setiap mahluk, Dia memberikan nikmat waktu dan kenikmatan lainnya secara cuma –
cuma. Bahkan, anugerah tersebut Allah berikan kepada seluruh makhluk, baik yang
taat kepada- Nya maupun yang maksiat, yang mukmin maupun yang kafir. Kalaupun
manusia dan jin tercipta untuk beribadah kepada-Nya, hal tersebut bukan untuk
Dia, tetapi bagi manusia dan jin sendiri. Beragam cara dapat dilakukan dalam
memaknai waktu yang terus berganti, diantaranya melalui sikap sederhana. Sikap
sederhana yang dapat dilakukan manusia (khususnya kaum muslimin) dalam
menyikapi anugerah yang tidak terhingga banyaknya tersebut adalah dengan
melakukan dua hal, yaitu bersikap syukur dan disertai dengan sikap sabar.
Menjadi
hamba yang senantiasa mensyukuri setiap yang diterima dan dialami tidaklah
mudah dan gampang. Akan tetapi, hal tersebut membutuhkan ilmu dalam melaksanakanya
agar tidak menjadi sia-sia dan tanpa nilai. Secara sederhana, arti syukur dapat
dipahami dengan menggunakan setiap nikmat yang diberikan sesuai dengan maksud
dan tujuan pemberi nikmat tersebut. Sikap syukur dapat dilakukan setidaknya
dengan dua langkah. Pertama melalui lisan atau lidah dengan mengucapkan tahmid
atau hamdallah. Kedua dengan melakukan aktivitas atau amalan yang
diridhoi Allah Swt dan dicontokan Rasulullah Saw.
Bersikap
syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah akan sangat berat ketika tidak
didorong dengan keikhlasan yang kuat. Dalam sebuah wasiat yang diterima sahabat
Mu’adz bin Jabbal r.a. rasulullah berkata kepadanya, “Wahai Mu’adz, aku
berwasiat kepadamu untuk tidak melupakan (meninggalkan) membaca do’a pada
setiap akhir shalat, yaitu Ya allah, tolonglah aku untuk dapat senantiasa
berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu”.
Sikap
berikutnya yang dapat memaknai waktu adalah melalui sikap sabar. Allah Swt
telah menetapkan suatu hukum alam berupa kondisi yang berpasang-pasangan. Dia
tetapkan lapang dan sempit, suka dan duka, dan seterusnya. Kesemuanya harus
dihadapi dengan sikap sabar.
Sebagaimana
ulama memberikan pandangan mengenai sifat mulia ini dengan al Habsu (menahan
diri). Sikap menahan diri yang dimaksud adalah menahan diri dari melakukan
sesuatu yang tidak diridhoi Allah dan Rasul-Nya, baik dalam kondisi suka maupun
duka. Sikap sabar di saat lapang dan su’’’ka adalah dengan menahan diri untuk
berleha-leha dan berpoya-poya. Sikap sabar disaat sempit dan duka adalah dengan
menahan diri dari bersikap frustasi atau stress yang tidak jarang diikuti
dengan melakukan hal-hal yang dilarang agama, seperti bunuh diri.
Dalam sebuah
hadits, Rasulullah Saw. menggambarkan keistimewaan seorang mukmin yang sejati.
Beliau berkata, “Sungguh suatu keistimewaan bagi seorang mukmin karena
seluruh urusannya adalah kebaikan (bagi dirinya). Apabila dia ditimpa
kebahagiaan kemudian bersyukur atas kondisi itu maka sikap tersebut adalah baik
bagi dirinya. Namun, apabila ditimpa kesedihan dan kedukaan lalu bersabar atas
kondisinya itu maka sikap tersebut adalah baik baginya”.
Semoga kita
termasuk kepada hamba-hamba Allah yang dapat memaknai hakikat waktu dengan
sebaik-baiknya sehingga terwujud dalam setiap aktivitas sehari-hari . Amiin
Wallahu’alam
bis shawab. (29/12/1436).
EmoticonEmoticon