“Tak akan pernah ada orang kaya di dunia ini, jika tak ada orang yang miskin”


Oleh : ZamZam Aqbil Raziqin

            Di dunia ini sering sekali kita mendengar orang miskin atau pun orang kaya, entah siapa yang mendefiniskan bahwa orang yang tak punya harta itu miskin dan sebaliknya itu kaya, mungkin founding father kita yang sedang menikmati alam kubur. Atau mungkin juga nenek moyang kita yang kini sedang berwisata di alam sana. Tapi sudah lah itu tak terlalu penting untuk kita bicarakan.
            Mengingat perkataan di atas, sangat luar biasa sekali makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Padahal yang mengatakannya adalah seorang pelawak yang sering berkata kosong. Ini membuktikan bahwa sebuah perkataan yaitu “Undzur Ma Qola Wala Tandzur Man Qola”[2] masih berlaku hingga saat ini.
            Mengenai kutipan di atas, realitanya sekarang justru terkesan ironis, tak sedikit orang kaya yang tidak peduli terhadap orang miskin, acuh, bahkan melecehkan dan menghinakannya. Mereka tak sadar bahwa Alloh SWT telah menggaris besarkan takdir-Nya bahwa di dunia harus ada orang miskin agar orang kaya bersyukur kepada-Nya. Tapi jarang sekali orang yang sadar akan hal ini, orang miskin di anggap sampah Negara, di marjinalkan, berfikir harus di hilangkan. Padahal dibalik itu semua orang miskin berperan sangat besar terhadap kekayaan seseorang. Tidak akan ada yang pernah di sebut orang kaya di dunia ini jika tak ada orang miskin, lantas apakah sampai saat ini ada orang kaya yang berterimakasih kepada orang miskin atas kemiskinan nya ?
            Zaman memang sudah berbeda, jika dulu pada zaman rasul orang kaya itu merasa terbebani dengan kekayaannya, karena mereka sadar bahwa harta adalah sebuah amanah yang mesti di pergunakan di jalan Alloh. Tak sedikit orang kaya yang tawadlu, mereka tak pernah bangga dengan kekayaan mereka. Bahkan seorang utsman di ceritakan pernah ingin menjual 100 ekor unta nya, ketika ada orang yang menawarkan harga 2x lipat, utsman tidak mau, 3x lipatpun utsman tetap tidak mau. Utsman menginginkan untanya di beli dengan harga 10x lipat, sampai akhirnya tidak ada orang yang berani membelinya. Tapi ketika itu, ada seorang yang miskin lewat di hadapan utsman, dia mungkin berfikir orang ini butuh harta untuk hidup, maka aia sodaqohkan 100 untua nya kepada orang miskin itu. Kenapa utsman berani berbuat demikian? Karena utsman meyakini bahwa alloh akan mengganti 1 dengan 10x lipat, maka dengan cara menshadaqohkan unta itu, utsman sama saja sudah menjual untanya dengan harga yang 10x lipat.
            Tapi apakah betul kesalahan ini terletak pada diri orang-orang kaya ? ternyata tidak, umat miskinpun sama. Mereka lebih memilih untuk menghinakan diri mereka di hadapan manusia, mereka lebih memilih untuk pasrah tanpa bekerja. Maka sebetulnya bukan suatu kesalahan yang mutlak jika kaum miskin dicela, dihina, dimarjinalkan, atau di anggap sampah Negara. Karena memang begitulah efektifitas yang di timbulkan dari kegiatannya.
            Mari sekali lagi kita lihat ke belakang. Di zaman rasul, apakah ada orang yang miskin berdo’a agar dirinya kaya? Tidak, saya tidak pernah menemukan tarikh yang menjelaskan hal tersebut. ini membuktikan bahwa kaum miskin di zaman rasul merasa nyaman dengan kemiskinannya, mungkin 1) karena mereka tau bahwa kekayaan hanyalah ujian yang akan menjerumuskan mereka k dalam neraka 2) karena system ke khilafahan yang menjaga sirkulasi perekonomian, sehingga orang yang kekuranganpun tidak pernah merasa takut dengan kekurangannya 3) mereka sadar, bahwa dengan kemiskinan berarti mereka tidak diberi kesempatan untuk berbuat maksiat dengan harta.
            Ini sangat berbeda sekali dengan zaman sekarang. Setelah penulis mentafakuri, andaikan pengemis-pengemis yang ada di jalanan di Tanya satu persatu apakah ingin menjadi orang kaya, pasti jawabannya “IYA”. Ini membuktikan bahwa hegemoni keduniaan sudah singgah pada diri mereka. Mereka tidak sadar akan nikmat nya kemiskinan, yaitu dijauhkan dari maksiat dengat harta, bahwa dengan kemiskinan tidak perlu repot-repot memikirkan menjaga harta, dan lain sebagainya.
            Mari sekali lagi kita tinjau dari aspek ruhaniyyah nya. Dimana survey yang dilakukan kebanyakan orang kaya sibuk dengan pekerjaannya, dengan bisnisnya, dan dengan kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga terkadang penulis melihat masjid kantoran itu penuh nya hanya waktu shalat jum’at saja, itupun penuhnya oleh masyarakat sekitar. Ini menandakan bahwa aspek religious dari kaum orang kaya ini terganggu. Lalu penulis melirik aspek religious dari kaum orang miskin, gelandangan, pengemis, pengamen itu sering saya lihat masih berkeliaran ketika adzan dzuhur, jarang ada yang langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat, mereka asik dengan action-action mereka dijalanan, mengemis, meminta-minta dll. Terkadang penulis sering melihat dikala waktu adzan subuh, para pengemis itu masih tertidur pulas di balut karung di pinggir jalan, pagiharinya penulis lihat masih juga tertidur, jarang yang memang betul-betul giat dalam beribadah, atau minimal melakukan shalat lima waktu walaupun tidak tepat waktu, sulit rasanya menemukan hal tersebut.
            Lalu mari kita kembali melihat di zaman rasul, dimana tidak ada pandangan kaya atau miskin, seluruhnya rata rajin beribadah, para sahabat yang kekurangan harta mereka rajin beribadah seperti bilal, bahkan bilal menjadi muadzin nya rasululloh s.a.w lalu kita lihat seorang utsman, abu bakar dll, mereka sama giat dalam beribadah, jadi memang pada zaman rasul mereka mempunyai kesamaan yaitu giat dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.
            Maka dari itu, sudah sepatutnya lah kita orang yang merasa dirinya di beri kelebihan harta oleh Alloh segera bercermin pada orang-orang kaya di zaman rasul, agar kita tidak di sesatkan dengan harta tersebut, mari hargai orang orang yang kekurangan, sekali kali kita berterimakasih karena kemiskinannya, ini memang bisa dikatakan “gila” tapi mari kita lakukan suatu hal “pembebasan” atau sering sekali pemateri seminar motivasi mengatakan “Out of the Box” . maksudnya jangan mengurung diri kita untuk berbuat suatu hal yang positif. Walaupun memang nantinya kita tidak perlu mengatakan niat kita, karena sebaik baiknya niat adalah niat baik yang tidak di gembor-gemborkan, cukup alloh dan ke 2 malaikat yang tahu. Nah bagi orang-orang yang kekurangan, mari kita bercermin juga pada zaman rasul, jangan lah kita menjual harga diri kita pada manusia, karena sesungguhnya “Alloh itu temat Bergantung”[3] bukan orang yang naik mobil, bukan presiden atau siapapun. Jangan sampai kaum yang tak mampu menjadi kaum yang termarjinalkan, tapi justru kaum yang kekurangan harta harus menjadi tokoh peradaban Islam.


“Ketika bercermin maka tataplah wajahmu dengan sebuah senyuman, karena ketampanan yang diberikan tuhan mu itu adalah harta yang tak tergantikan. Walau memang ketampampanan adalah suatu hal yang relative, maka katakanlah cukup tuhanku yang menilai.”


[1] Sule dalam OVJ (Episod Si kaya dan Si Miskin)

[2] Ali bin Abi Thalib

[3] QS Al-Ikhlas : 2

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »