Gambar diambil dari Google Image |
Oleh: Husna Hisaba Kholid (Ketua Umum
Ikatan Pelajar Persis)
“Ya Allah ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu
dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kekikiran, kepikunan, dan siksakubur. Ya
Allah ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia,
sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang dapat mensucikannya, Engkaulah
yang menguasai dan yang menjaganya. Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak berguna, hati yang tidak khusyu',
diri yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak terkabulkan.” (H.R
Muslim)[1]
“Amal adalah buah dari ilmu dan hujjah bagi
pemilik ilmu ketika bertemu dengan Allah swt. Ilmu tanpa amal layaknya
pohon tanpa buah. Dengan ilmunya ia mampu menyinari sekelilingnya, namun
ketika ia melupakan dirinya, ia itu bagaikan lilin yang mampu membahagiakan
orang lain dengan sinarnya, namun dirinya hancur binasadengan apinya”
“Al-Insan (Manusia) secara bahasa berasal
dari kata anasa أنس, bentuk kata
kerjanya anisa yang memiliki makna ketenangan dan kebahagiaan. Oleh
karena itu, hendaknya seorang manusia itu beramal sesuai nama dan sifatnya,
dimana ia menjadi sumber kebaikan dan kebahagiaan untuk orang lain”[2], sebab
kebahagian itu akan ia miliki, ketika ia memahami kebahagiaan itu berawal
dari diri dirinya sendiri, kemudian untuk diri orang lain.
Hal inilah yang sering terabaikan oleh para
penuntut ilmu, yaitu perhatian ilmu untuk kebahagiaan dirinya sendiri.
Muhammad Bahaim Salim (1987: 240) mengatakan, “Secara tersurat, dorongan
Allah swt. kepada kita semua agar menuntut ilmu dan mencapai ma’rifat itu,
bahwasannya Allah swt. menginginkan kebahagian hidup kita di dunia.
Adapun secara tersirat, Allah swt. bermaksud untuk mengantarkan kita
kepada puncak ma’rifat kepada Sang Khalik (Pencipta) atas keesaan-Nya,
kekuasaan-Nya dan kebijaksanaan-Nya, serta menerima ketentuan-Nya”.
Kebahagiaan ini akan terwujud ketika seorang
penuntut ilmu meyakini ilmunya itu mampu menambah rasa takut dirinya kepada
Sang Pencipta. “Ibnu Qoyyim rahimahullah mengindikasikan Ilmu yang bermanfaat
akan mendatangkan khasyah (takut) kepada Allah, dan pemiliknya senantiasa
mengakui keagungan Allah sehingga melahirkan tahqiq ubudiyah, yaitu ketundukan
dan penghambaan kepada-Nya. Sebaliknya, ilmu yang tidak mendatangkan khasyah, tidak
bisa disebut sebagai ilmu yang bermanfaat dan pemiliknya tidak termasuk dalam
kategori alim”[3]. Dengan rasa takut tersebut, seorang penuntut ilmu akan dapat
selalu mendorong dirinya untuk mengamalkan apa yang Allah swt. dan Rasul-Nya
ajarkan. Allah swt berfirman.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagiMaha
Pengampun” (Q.S Fathir: 28)
Inilah yang disebut dengan ilmu yang bermanfaat,
yaitu ilmu yang berbuah rasa takut kepada Sang Pencipta (Khaliq) dan amal
sebagai bekal dirinya kelak di akhirat.
Ilmu dan amal adalah sesuatu yang mesti hidup
seirama dalam kehidupan seorang penuntut ilmu. Sebagaimana Ibnu Qoyyim
menyatakan, “Setiap pengembara akan sampai kepada Allah dan kehidupan
akhirat, akan tetapi setiap pengembara itu akan bergantung pada jalan yang ia
tempuh. Tidak akan sempurna dan sampai perjalanannya itu kecuali dengan dua
kekuatan yaitu ilmu dan amal”[4]. Jika ilmu tersebut tidak diamalkan
oleh pemiliknya maka ilmu itu akan terlupakan begitu saja. Ali binAbi Thalib
pernah berujar, ”Ilmuitu akan memanggil amal, jika amal tidak
menyerunya maka ilmu akan pergi”[5] “Ilmu tanpa amal ialah salah satu
penyebab hilangnya keberkahan ilmu dan tegaknya hujjah di hadapan Allah bagi pemilik
ilmu, sungguh Allah Swt. telahmencela terhadap hal ini melalui firmannya[6].
“Amat besar kebencian disisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S As-Shaf : 3)
“Mengapa kamu suruh orang
lain(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
Padahal kamu membaca Al kitab Maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S Al-Baqarah
: 44)
Imam Syafi’i mengatakan, “Tidaklah disebut ilmu,
apa yang hanyadi hafal, tetapi ilmu adalah apa yang diaktualisasikan dalam
bentuk adab yang akan memberikan manfaat”[7]. Maka dari itu, penting kiranya
seorang penuntut ilmu memberikan perhatian yang besar kepada dirinya sendiri
dengan bertanya, sejauh manakah dirinya telah mengamalkan ilmunya?. Jangan
sampai ilmunya itu hanya menjadi kerugian yang besar kelak di hadapan Allah
swt. ketika ia mengatakan apa yang ia tidak laksanakan. Dalam suatu penggalan
puisi arab, Abu Al-‘Atiyah berkata.
وصفتالتقى حتى كأنك ذو تقى و
ريح الخطايا منثيابك تسطع
“Kamu mensifati dirimu dengan ketaqwaan seolah-olah
kau memiliki ketaqwaan
Akan tetapi wangi keburukan tercium dari pakaianmu begitu menyengat”
Ilmu yang dimiliki oleh seorang penuntut ilmu
akan menjadi kemuliaan kelak diakhirat jika ia menjadikannya perhiasan bagi
akhlaknya. Namun sebaliknya, jika ia lupa akan dirinya, ia akan mendapatkan
ilmunya menjadi senjata yang melukai tuannya. Dalam suatu hadits dikemukakan.
قَدَمُ ابْنِآدَمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْعُمُرِهِ فِيمَ
أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَاكْتَسَبَهُ
وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
"Kaki Anak Adam tidaklah bergeser pada hari
Kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal; tentang umurnya
untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia pergunakan, tentang
hartanya dari mana dia peroleh dan kemana dia infakkan dan tentang apa yang
telah dia lakukan dengan ilmunya.". (H.R Tirmidzi Bab Maa ja’a fisay’ni
‘l-hisab wa ‘i-qishash no. 2340)
Sudah selalayaknya bagi kita semua agar selalu
menundukan kepala kita seraya bedo’a meminta perlindungan dari segala keburukan
amal kita kepada Allah swt.
اللَّهُمَّإِنِّي أَعُوذُ بِكَ
مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِوَالْهَرَمِ وَعَذَابِ
الْقَبْرِ اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَاأَنْتَ خَيْرُ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا اللَّهُمَّ إِنِّيأَعُوذُ بِكَ مِنْ
عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍلَا تَشْبَعُ وَمِنْ
دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu
dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kekikiran, kepikunan, dan siksa kubur. Ya
Allah ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia,
sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang dapat mensucikannya, Engkaulah
yang menguasaidan yang menjaganya. Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mudari ilmu yang tidak berguna, hati yang tidak khusyu', diri
yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak terkabulkan."
(H.R Muslim Bab at-Ta’wwudz min syarri maa‘amila wa min syarri maa lam
ya’mal no. 4899)
Amal adalah buah dari ilmu dan hujjah bagipemilik
ilmu ketika bertemu dengan Allah swt. Ilmu tanpa amal layaknya pohontanpa buah.
Dengan ilmunya ia mampu menyinari sekelilingnya, namun ketika iamelupakan
dirinya, ia itu bagaikan lilin yang mampu membahagiakan orang laindengan
sinarnya, namun dirinya hancur binasa dengan apinya. Semoga Allah
swt.melindungi kita semua dari keburukan amal yang kita lakukan. Aamiin
yaaMujibas Sailin. Wallahu a’lam bi Shawab.
_________________________________________________
[1] (Bab at-Ta’wwudz min syarri maa‘amila wa
min syarri maa lam ya’mal no. 4899)
[2] Muhammad Bahaim Salim, Al-Qur’an Al-Karim
Wa As-Suluku ‘l-Insani,Ismailiyyah: Al-Haiah Al-Mishriyyah al-‘Ammah li
‘l-Kitab, 1987,hlm. 11
[3] Ibnu Jama’ah, dalam Adian Husaini Dkk. Filsafat
Ilmu;PerspektifBarat dan Islam, Jakarta,Gema Insani, 2013,hlm. 190
[4] Muhammad Bin Abdillah Ad-Dihan, Ma’alim fi
Thariqi thalabi‘l-‘Ilmi, Riyadh : Dar Ar-Rayah, hlm. 566
[5] Ibid hal. 34
[6] Ibid hal. 34
[7] Adian Husaini Dkk. Filsafat
Ilmu;Perspektif Barat dan Islam,Jakarta, Gema Insani, 2013,hlm. 190
5 komentar
Write komentarWahyu memandu ilmu.. :)
ReplyHehe jargon UIN kang di babawa...
ReplySanes saur abi mh, eta mh jargon yang mencari ilmu kang argha.. :)
ReplyHehe mhun tapi nu ngasosialisasiken rektor UIN nu kamari pa Nanat di acara OPAK 2011..
ReplyArgha:hehe..sanes UIN wae panginten anu gduh jargon eta.. :)
ReplyEmoticonEmoticon