Homoseksual Identitas Kaum Pembangkang


Sumber Gambar: Yahoo.com

Oleh: Rifqi Azhar Nugraha[1]
            Manusia dikatakan sebagai makhluk paling sempurna daripada makhluk Allah yang lain, itu dikarenakan manusia diberikan akal dan nafsu oleh Allah. Berbeda dengan malaikat yang hanya diberi akal, sehingga mereka tidak pernah membangkang kepada Allah. Binatang yang hanya diberika hawa nafsu saja tidak pernah diceritakan bahwa mereka pernah membangkang kepada Allah. Adapun makhluk hidup yang lain yang entah sifat apa yang Allah berikan kepada mereka, yakni tumbuhan.
            Ilmu mantiq menjelaskan bahwa manusia adalah hayawanun natiqun, hewan yang berpikir. Manusia diberikan nafsu oleh Allah dan juga akal pikiran untuk menyeimbangkan tingkah laku dan cara peribadatan yang benar sesuai yang Allah perintahkan. Namun apa jadinya jika hawa nafsu mengendalikan akal, sehingga akal terus berpikir untuk membenarkan hawa nafsu. Maka yang terjadi selain penyimpangan beribadah, juga penyimpangan terhadap akhlak dan norma. Contohnya adalah dengan timbulnya pemikiran yang membenarkan hubungan sesama jenis yang biasa kita sebut sebagai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).
            Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yang membenarkan pemikiran ini, mereka menganggap homoseksual hanyalah perbedaan budaya dari barat yang masih tidak bisa diterima di Indonesia. 26 Juli 2010, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengadakan diskusi bulanan bertempat di Gedung Teater Utan Kayu, Jl. Utan Kayu 68 H, Jakarta yang berjudul “Tafsir atas Homoseksualitas dalam Kitab Suci”. Berikut kutipan dari Dr. Ioanes Rakhmat yang menjadi salah satu pembicara dalam kajian ini sebagai orang yang berbicara dalam pandangan Kristen:
            “Teks ini tidak memberikan petunjuk jelas mengenai bentuk kedurjanaan kota Sodom. Teks ini hanya menyatakan alasan para lelaki di kota tersebut hendak menyodomi kedua orang asing yakni kedua orang asing itu dipandang mau menjadi hakim atas mereka (19:9). Di dalam konteks zaman kuno di Timur Tengah, penyodomian terjadi sebagai bentuk penghinaan dan perendahan martabat dari pihak yang menang atau lebih berkuasa kepada pihak yang kalah atau lebih lemah. Biasanya hal itu terjadi kepada raja yang kalah perang, atau kepada orang asing yang datang di suatu tempat dan disodomi oleh penduduk asli sebagai tanda dominasi penduduk asli. Dengan demikian, teks Kejadian 19 ini tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menolak homoseksualitas, melainkan teks yang membela kaum yang tertindas dan diperlakukan semena-mena oleh pihak yang merasa diri lebih superior.”[2]
            Kutipan di atas saya ambil dari website resmi JIL www.islamlib.com dalam tulisan Hans Abdiel yang menulis artikel Reportase Diskusi JIL bulan Juli dalam website tersebut. Nyatanya orang yang mengimani Alkitab bernama Dr. Ioanes Rakhmat ini tidak setuju atas tafsiran kaumnya sendiri yang menjastifikasi kaum Sodom bahwa mereka diberi azab oleh Allah karena perbuatannya yang suka berhubungan sesama jenis. Ia secara tegas malah mentafsirkan bahwa azab itu turun bukan karena kebiasaannya yang senang berhubungan sesama jenis, namun melainkan karena pada saat itu masyarakatnya merasa paling berkuasa, pintar, dan sukses daripada kaum yang lain, sehingga Allah memberi mereka azab karena sifat buruk itu.
            Dalam diskusi JIL itu pun ada satu lagi pembicara yang mewakili kalangan muslim, namun ia melakukan interpretasi ulang terhadap tafsiran Al-Qur’an yang telah jelas, orang tersebut adalah Mohamad Guntur Romli. Berikut adalah tafsirannya yang saya ambil dari artikel yang sama:
            “Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan adalah adanya cara pandang yang lain terhadap Quran, yaitu dengan membedakan ayat-ayat hukum dan ayat-ayat kisah yang tentunya tidak dapat langsung dikaitkan dengan kaidah-kaidah hukum. Misalnya saja, kisah Luth yang memiliki kesamaan dengan kisah Sodom dan Gomora dalam Kejadian 19 dari Alkitab Kristen, yang biasanya menjadi dalil menentang homoseksualitas. Di dalam kisah tersebut sebenarnya disebutkan bahwa penyebab kota Sodom yang dihuni Luth dihukum Allah bukan karena praktik homoseksual yang terjadi di sana tetapi karena penduduk kota itu melakukan berbagai kejahatan seperti melakukan keonaran, menyamun, dan sebagainya. Dengan demikian, kisah Luth tersebut dilihat dari satu sisi saja dan digunakan untuk pembenaran untuk menolak homoseksualitas.”[3]
            Bagaimana bisa kisah-kisah yang Allah ceritakan dalam Al-Qur’an tidak bisa dikaitkan dengan hukum? Bukankah Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia? Maka petunjuk ini harus kita turuti bagaimanapun jalannya. Analoginya seperti kita pergi keluar kota, namun kita tidak mengetahui jalan mana yang harus kita tuju, GPS sebagai teknologi membantu kita untuk pergi ke tempat yang kita tuju. Seperti itu lah Al-Qur’an, tempat yang kita tuju yakni ridlo Allah agar dapat tinggal di surga-Nya, maka Al-Qur’an-lah sebagai petunjuk kita pergi ke sana. Justru jadi tidak masuk akal jika kisah yang telah Allah sampaikan dalam kitab-Nya tidak ada kaitannya dengan hukum, Al-Qur’an itu dari Allah Yang Mahakuasa, bukan dari penulis majalah dongeng.
            Allah memberi petunjuk tentang toleransi beragama dalam QS. Al-Kafirun ayat 6: “Bagimu agama mu, dan bagiku agama ku”. Surat beserta ayat itu turun saat Rasulullah bimbang, tentang apa yang harus beliau lakukan saat ditawari oleh orang kafir, tentang saling menyembah Tuhan yang dipercayai. Apakah itu dongeng? Tentu tidak, Allah bermaksud memberi tahu kepada Rasulullah bahwa tidak seharusnya menyembah Tuhan yang lain selain Allah, walaupun sebagai gantinya mereka menyembah Allah juga. Begitu pula dengan kisah kaum Sodom/Sadum, Allah beri mereka azab karena sifat mereka yang seperti binatang, bahkan sebelum azab itu Allah beri peringatan kepada mereka melalui utusan-Nya Nabi Luth As, hanya saja mereka tidak mendengarnya dan tetap melakukan praktik keji itu.
            Selain itu, Mohamad Guntur Romli sepertinya tidak memperhatikan seruan dari Nabi Luth As. mengenai homoseksual dan lesbian, bahwa perbuatan itu bertolak belakang dengan fitrah dan hati nurani manusia, serta menyalahi hikmah yang terkandung dalam penciptaan manusia. Seruan itu ada dalam QS. Asy-Syuaraa ayat 165-166:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ ١٦٥ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ ١٦٦
            “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”[4]
            Bukankah sudah jelas Nabi Luth As. melarang mereka mendatangi jenis lelaki, dan menyuruhnya untuk kembali kepada istri-istri mereka. Mengapa Mohamad Guntur Romli dari kalangan muslim malah menyelewengkan hal itu, bahkan tidak menyinggung ayat ini sama sekali, maka akal yang ia kedepankan justru jadi tidak masuk akal. Tidak hanya dalam ayat tersebut, secara jelas QS. Al-A’raaf ayat 80-82:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ١٨۰ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ ١٨١ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ١٨٢
        “Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: ‘Usirlah mereka (Lut dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.’”[5]
            Faahisyah dalam QS. Al-A’raaf ayat 80 itu berarti suka berhubungan sesama jenis, maka gugur interpretasi dari Mohamad Guntur Romli karena dalam ayat ini sudah jelas bencinya Allah kepada kaum Sodom bukan hanya karena mereka suka menyamun, namun juga karena perbuatan homoseksual mereka. Menurut H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman dalam bukunya “Para Pembangkang!” Ia bekata sebagai berikut:
            “Dalam QS. Al-A’raaf [7]: 80 disebutkan bahwa masyarakat Sadum suka melakukan perbuatan faahisyah, yakni melakukan hubungan seks dengan sesama jenis. Perbuatan ini sangat tidak dibenarkan dalam syari’at Allah SWT.”[6]
            Interpretasi dari Mohamad Guntur Romli sama sekali tidak bisa dijadikan rujukan, karena tidak ada referensi dan fakta ilmiah yang jelas dalam pemikirannya. Agama yang rasional itu justru dihadiri dengan fakta-fakta ilmiah dari Al-Qur’an, bukan mengedepankan akal tanpa fakta ilmiah yang justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri, mereka mengedepankan akal namun ucapan dan pemikirannya tidak masuk akal, itulah liberalisme. Islam yang masuk akal senantiasa menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, berbeda dengan Islam Liberal yang mengedepankan akal sehingga menjadikan akal sebagai Tuhan-Nya sendiri, justru hal ini menjadi tidak masuk akal sama sekali.
            Sebagai alumni dari pesantren, saya belajar metodologi tafsir Qur’an dan Hadits. Bahwa sanya menafsirkan Qur’an itu tidak bisa dijelaskan dari segi bahasanya saja, ada sejarah yang berkaitan, ada nasikh mansukh. Begitu pula dengan hadits, ditinjau keadaan Rasul, sifat dan kapasitas rowi & sanad. Namun saya tidak membaca atau melihat JIL yang menafsirkan Al-Qur’an menggunakan metodologi itu, mereka terlihat melakukan tafsiran dengan hanya melihat bahasanya saja, atau bahkan terjemahannya. Hal ini menjadi sangat masuk akal untuk tidak menjadikan JIL dan tokoh-tokohnya sebagai bahan rujukan atau perbandingan study, karena apa yang mereka sampaikan tidak disertai dengan fakta-fakta ilmiah, mereka hanya menumpuk nafsu diatas akal. Dr. Adian Husaini pun sependapat tentang hal ini, ia menulis dalam bukunya:
            “Logika-logika yang dipakai Musdah Mulia (Dosen UIN Jakarta) semacam ini sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai “Ijtihad” karena dilakukan dengan semena-mena dan merusak tatanan hukum Islam. Dia tidak menggunakan metode yang dapat diuji oleh para ilmuwan di bidang hukum Islam. Di dalam Hermetika Kristen saja, ada tata aturan yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir. Tidak bebas begitu saja menafsirkan Bibel menurut kehendak masing-masing. Sebuah buku berjudul Hermeneutik: Prinsip dan metode Penafsiran Alkitab karya Pdt. Hasan Sutanto, M.Th., (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1998), menyebutkan banyak syarat dalam pemberlakuan metode analisa konteks. Jika metodologi pengambilan hukum Islam dihancurkan, maka akan muncullah penafsiran yang serampangan dan asal bunyi.”[7]
            Homoseksual, atau praktik seksual sesama jenis lainnya, dan biseksual dengan tegas telah Allah jelaskan bahwa hal itu dibenci dan diharamkan oleh-Nya. Berbeda dengan perceraian yang walaupun dibenci tetap dibolehkan, maka seharusnya sudah tidak ada lagi pertentangan tentang hal ini karena Allah sudah melarangnya dan hukum Allah itu mutlak. Ulama-ulama sunni pun bersepakat bahwa hubungan sesama jenis tidak halal, selain larangan dari Allah, hal tersebut bertentangan dengan fitrah manusia, dan ciri kaum yang tidak beradab, belum lagi hubungan ini tidak akan mendapatkan keturunan sedarah, jelas tidak ada manfaatnya sama sekali. Sesungguhnya Allah beri kita akal dan kitab-Nya untuk menutupi hawa nafsu manusia, dan agar tidak melakukan praktik kaum yang membangkang kepada-Nya pada jaman dahulu.
            Semoga apa yang telah kita ikhtiarkan mendapat ridlo Allah SWT. dan kita dilindungi dari godaan syetan yang terkutuk, serta tidak termasuk dalam kaum yang membangkan kepada Allah, hanya menjadi kaum Rasulullah Saw.-lah kita dapat masuk ke surga-Nya.


[1] Aktifis Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam Komisariat Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung sebagai ketua Bidang Komunikasi & Informasi, di UIN beliau study S1 program studi Teknik Informatika, Fakultas Sains & Teknologi. Aktif pula di organisasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Persis sebagai Komunikasi & Informasi.
[2] Abdiel, Hans. “Mengusung Tafsir yang Ramah terhadap Homoseksualitas”. www.islamlib.com. Minggu, 23 November 2014. Pukul 05:30 WIB
[3] Ibid.
[4] Al-Qur’an Surat Asy-Syuaraa [26]: 165-166
[5] QS. Al-A’raaf [7]: 80-82
[6] Yusuf, Muhammad. “Para Pembangkang! Kisah-kisah kaum terhadulu yang dibinasakan Allah”. Diva Press. Jogjakarta. 2013. Halaman 124
[7] Husaini, Adian. “Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam”. Gema Insani. Jakarta. 2009. Halaman 227

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »