Oleh: Farhan Fuadi Rahman[1]
Apa Itu Difable?
Kepayahan, itulah kiranya jika seseorang mencoba mencari kata difable dalam bahasa inggris. Bukannya mendapat apa yang dicari, tapi malah tidak menemukannya sama sekali. Mengapa demikian?
Hal
tersebut dikarenakan kata tersebut telah mengalami eufimisme, yaitu
pengahlusan makna. Kata disble sebenarnya merupakan singkatan dari
bahasa inggris Different Ability People yang secara harifiah
diartikan orang yang berbeda kemampuan. Kata ini digunakan pertama kali
oleh beberapa aktivis gerakan penyandang cacat, hal ini dilakukan agar
tidak terjadi kesenjangan antara penyandang cacat dengan manusia
lainnya. Lagi pula bukankan sejatinya manusia itu berbeda-beda? Inilah
yang dimaksud bahwa penyandang cacat pun mampu melakukan apa yang orang
normal lakukan, hanya dengan cara yang berbeda[2].
Di
dalam bahasa Indonesia sendiri eufisisme juga dilakukan, untuk
menyebutkan orang yang mempunyai kecacatan, tidak langsung disebut orang
cacat, namun diperhalus menjadi penyandang cacat.
Adapaun dari
segi arti, kata tersebut dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti
“seseorang yang memiliki ketidak-sempurnaan”. Namun Konotasinya tetap
jelas, arti tersbut ditujukan pada orang-orang yang mempunyai ketidak
sempurnaan dalam fisik; baik berupa buta, tuli, bisu, lumpuh –baik
karena dari lahir atau kecelakaan- juga dalam mental seperti autis
hingga down syndrome. Simpulan ini penulis fahami dari fenomena
bahasa yang penulis lihat. Arti tesebut tidak pernah digunakan untuk
menyebut akhlak atau kepribadian seseorang, karena tidak pernah orang
normal secara fisik dan mental ketika melakukan kesalahan –dari mulai
korupsi hingga membunuh- disebut orang yang cacat[3].
Tentunya
dari sini saja definisi serta penggunaan kata tersebut telah mengandung
unsur diskriminatif, dimana orang yang tidak pernah minta dilahirkan
(apalagi dilahirkan dalam kondisi tidak sempurna) dalam kehidupannya
harus menanggung embel-embel yang cenderung merugikan dirinya, hal ini
belum terhitung perlakuan diskriminatif yang mereka terima serta
gunjingan yang di dapat ketika bersinggungan dengan orang-orang yang
disebut “normal” atau “sempurna”. Kutipan pada dua kata itu penulis
bubuhkan karena secara tidak sadar kata normal dan sempurna itu telah
mereka gunakan karena dominasi mereka yang secara jumlah lebih banyak
dibandingkan para penyandang cacat. Namun coba kita sedikit beranalogi,
jika saja jumlah itu dibalik, ketika jumlah penyandang cacat mendominasi
dan manusia “normal” -”sempurna” berjumlah minoritas, maka siapa
kemudian yang akan disebut cacat?
Pandangan Islam Mengenai Persamaan
Persamaan (Al-Musaawamah)
dalam pandangan islam sebagai agama yang syamil (komperhensif) dan
kamil (sempurna) begitu jelas. Ia tidak hanya menunjukan agama islam
yang mempunyai toleransi tinggi dalam bersosial tapi juga ia
merepsresentasikan Maha Adilnya Allah Swt.
Mari kita buka pembahasan ini dengan melihat firman Allah berikut:
Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Q.S Al-Hujuurat:13)
Ayat ini cukup menjadi gambaran bagi
kita betapa Allah swt tidak menyinggung perbedaan dari makhluk taklif
(baca:manusia) yang ia ciptakan selain substansi mereka didalam
beribadah kepadanya. Tidak atas dasar ras, harta, IQ bahkan tidak atas
dasar bentuk fisik. aspek takwa menjadi sentral karena mampu dicapai
oleh setiap manusia berakal. Tidak peduli apakah mereka buta, tidak
sempurna anggota tubuhnya atau mengalami kecacatan lainnya. Selama akal
mereka bisa berfungsi, predikat takwa bisa di dapatkan olehnya, sungguh
suatu bentuk kasih sayang Allah swt.
Keniscayaan kehendak Allah ini dikuatkan melalui sabda Rasulullah saw[4]:
وعن
أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن الله
لا ينظر إلى أجسامكم، ولا إلى أموالكم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم.
Dari
Abi Hurairah r.a ia berkata: telah bersabda Rasulullah Saw:
sesungguhnya Allah tidak melihat pada (bentuk) fisik kalian dan tidak
melihat pada harta benda kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati
kalian dan amal kalian.
Penunjukan beberapa dalil diatas
kirannya cukup untuk mempersepsikan Islam sebagai agama yang terdepan
dalam persamaan. Bahkan agama ini mengatur dengan apik hak-hak adamy
(HAM), apa yang akhir-akhir ini diteriakan untuk mendukung sesuatu yang
keliru. Lebih jauh lagi kita fahami bahwa tidak ada istilah VIP bagi Allah[5] terhadap hambanya. Semua dipandang penting dalam penciptaanya, hal ini seperti firman Allah ta’ala:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”( Q.S Al- Qiyamah : 36).
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja)?”(Q.S Al-Mu’minun: 115).
dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.(Q.S Al-Anbiya: 16).
Inilah
bukti keagungan Agama Islam, dimana setiap manusia diistimewakan oleh
Allah bahkan dari makhluk yang lainnya, semuanya tidak luput dari
pengawasan Allah sedetik pun. Manusia sendirilah yang menjadikan dirinya
ada dalam keadaan khasr (rugi)- asfala saafiliin (paling rendah) atau muflihun (beruntung) – faaizuun (menang), dan
pilihan ini pilihan bagi semua hamba Allah yang fungsi akalnya normal
(tidak mengalami gangguan jiwa) meskipun fungsi fisiknya terganggu parah
sekaipun.
Peran Pemerintah Bagi Para Penyandang Cacat
Sejalan dengan itu sebetulnya pemerintah pun –entah karena mengilhami ayat-ayat Allah atau tidak- meng-cover
para penyandang cacat dengan peraturan dasar tertingginya yaitu UUD
1945 pasal 27 serta ditambah lagi penguatan pada amandemen UUD 1945[6].
Adapun UUD 1945 pasal 27 tersebut berbunyi :” Setiap warga negara
berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Ini mengindikasikan adanya itikad dari negara Indonesia
guna menyelenggarakan pemerintahanan yang mampu mensejahteraan seluruh
rakyatnya tanpa terkecuali. Selanjutnya UUD 1945 ini ditegaskan oleh UU
RI nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat yang secara tegas
mengatur hal ihwal hak penyandang cacat dalam setiap segi kehidupan[7]
Lain
teori lain praktek, inilah relita yang dialami oleh para pennyandang
cacat di republik ini. Peraturan yang tidak disertai kontrol yang ketat
membuat pasal ini sebatas tulisan saja. Asumsi ini bukan tanpa dasar,
mentri sosial Salim Segaf Al-jufri pun mengamini hal ini. Dalam sebuah
wawancara ia mengutarakan: “perahatian pemerintah kepada anak
pentyandang disabilitas masih rendah” hal ini dikarenakan pemerintah
memliki data akurat mengenai jumlah anak penyandang disabilitas di
Indonesia.(www.Tempo.co/pemerintah akui belum perhatikan penyandang cacat).
Begitu
pula diranah pendidikan, meski UUD 1945 telah menjamin bahwa pendidikan
merupakan hak seluruh warga negara, juga undang-undang mengenai sistem
pendidikan[8] telah menegaskan hal itu, namun pendidikan bagi penyandang
cacat masih dirasa belum bisa memenuhi kebutuhan mereka[9]. Terlebih
pada pendidikan tinggi, belum ada lembaga pendidikan yang secara khusus
menampung penyandang cacat dan mendidik mereka melalui perguruan tinggi.
Memang ada universitas yang mulai memberikan kesempatan itu, namun
jumlahnya masih jauh dari kata cukup. Bahkan salah satu universitas
negeri di indonesia dalam penginformasian daya tampung SNMPTN 2014[10],
mereka mencantumkan persyaratan fisik yang berarti menapikan kehadiran
para penyandang cacat, sungguh hal yang disayangkan.
Rasa kasihan,
rasa khawatir dan kesulitan untuk mandiri, tidak kemudian melepaskan
tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pendidikan untuk seluruh
warga negara hingga abai terhadap pembeian hak-hak penuh terhadap
penyandang cacat. Maka konsep Islam jauh lebih maju, dimana ia melihat
potensi akal, bukan ketidak sempurnaan fisik. maka jika langkah ini
ditiru, Indonesia akan mampu menggali potensi luar biasa para penyandang
cacat yang biasanya mempunyai motivasi lebih kuat untuk maju dibanding
orang normal kebanyakan.
Permaslahan ini tentunya menjadi PR
tersendiri bagi calon-calon negarawan masa depan –dalam hal in pelajar-,
dari sekelumit permaslahan yang ada di negeri ini. Bagaimana ia bukan
sekedar memetakan permasalahan namun juga memberikan solusi yang terasa
hingga akar rumput (grass root).
Penyandang Cacat + Manusia Normal = Manusia Luar Biasa
Berbicara
masalah pemberdayaan manusia adalah berbicara bagaiamana manusia mampu
memaksimalkan potensi yang dimiliki, tentunya dalam kegiatan-kegiatan
positif. Potensi positif tersebut jika terus dikembangkan akan menjadi
ciri khas dari manusia itu sendiri. ciri khas inilah yang penting karena
akan menjadikan manusia mampu mencapai target penciptaan yang
digariskan oleh Allah Swt.[11]
Pemberdayaan pun selayaknya tidak
pandang bulu, karena kerjanya bukan memilah namun memberikan
pendidikan-pendidikan serta nilai positif baik secara intern maupun
secara ekstern.
Maka penulis mempunyai gagasan membuat sebuah
komunitas yang didalamnya berisi setiap elemen masyarakat termasuk
penyandang cacat sebagai anggota utamanya. Namun, gerak komunitas ini
tidak hanya memperhatikan para penyandang cacat, ia juga bergerak
dibidang sosial secara umum. Dalam komunitas ini semuanya dipukul rata,
semua kerja sosial “apapun itu, siapapun itu dan kepada siapapun itu”
adalah tujuan organisasi ini. Langkah ini diambil agar terjadi dinamika
yang baik dalam organisasi tersebut, dimana para orang yang normal bisa
melihat semangat , kecerdasaan, keuletan para penyandang cacat dalam
menjalankan aktivitas mereka, baik dalam keseharian juga dalam
kegiatan-kegiatan sosial. Demikian pula bagi para penyandang cacat mampu
lebih semangat lagi menjalankan harinya karena terus dibimbing
dikuatkan serta diberi motivasi bahwa tidak ada perbedaan antara orang
normal dan penyandang cacat; Semua sama pentingnya, sama membutuhkan
orang lain, sama dimata Tuhan . Dan seluruh anggota komunitas ini
ditanamkan prinsi bahwa khairunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama).
Aspek-aspek
tersebutlah yang kita harapkan menjadi sesuatu yang luar biasa, dimana
terjadi suatu kepaduan yang sangat membantu bagi para penggiat komunitas
tersebut terutama dalam menjalani serta memaknai kehidupan. Agar mereka
mampu mengembangkan semaksimal mungkin potensi yang mereka miliki.
Motiva Incred-Able
Salah
satu bentuk partisipasi sosial dari komunitas yang penulis maksud ialah
adanya lembaga training yang para trainnernya adalah para penyandang
cacat itu sendiri. Ide ini penulis dapatkan ketika mengikuti program
sosialisasi beasiswa yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga zakat
nasional di kampus Universitas Padjadjaran[12]
Inspirasi ini
datang dari pengisi acara tersebut yang ternyatas seorang tuna netra
multi talenta bernama Eko Ramaditya Adikara. Layanknya manusia normal ia
beraktivitas, berkarya, bahkan dengan menggunakan komputer.ia juga
eksis dijejaring sosial, mampu bermain alat music dan hidup bak manusia
seutuhnya dengan menikahi wanita normal dan telah mempunyai anak dengan
tanpa kecacatan apapun. Hal Luar biasa lainnya karena dia nyaris tidak
menunjukan sikap inferiorirty dalam penampilannya didepan public serta penuh rasa syukur akan apa yang telah ia terima dalam hidupnya.
“Kita
kadang lupa untuk mencintai diri kita sendiri, tidak bersyukur atas apa
yang telah kita punya” paparnya dengan semangat. Bahkan ketika seluruh
peserta diajak bersimulasi, diintruksi agar memejamkan mata dan mencoba
merasakan beberapa saat menjadi tuna netra, entahlah tapi sungguh bagi
penulis ini sangat berkesan.
Maka gagasan inilah yang ingin
penulis sampaikan, dimana ada sebuah lembaga training yang memberdayakan
para penyandang cacat sebagai trainnernya. Karena secara persuasif jauh
lebih ampuh dari trainer pada umumnya. Gagasan ini juga tetap bertumpu
pada asas saling menguntungkan dimana ketika para peserta training
mendapat motivasi, begitu pula trainer tersebut yang semakin termotivasi
karena ia meampu menjadi motivator, menjadi manusia yang bermanfaat
bagi sesama ditengah kekurangannya sebagai penyandang cacat.
Maka
lembaga motivasi ini penulis namakan Motiva Incread-Able, yang merupakan
bentuk eufoni (bunyi yang enak didengar) dengan maksud motivation of
incredible Ability. Lembaga ini akan luar biasa karena beberapa hal.
Pertama, lembaga ini menyatukan seluruh elemen (para penyandang cacat
dan manusia normal). Kedua, motivasi yang disampaikan selalu atas
sessuatu yang pernah dialami sehingga terhindar dari ejekan yang lazim
dilontarkan pada trainner seperti :“hidup ini gak segampang perkataan
Mario teguh”, dsb. ketiga, motivasinya selalu multi dimensi, karena
berakhir dititik dimana manusia bersyukur kepada Tuhannya. Keempat,
memberikan makna hidup bagi penyandang cacat, karena eksistensi mereka
dengan cara ini membuat mereka kini punya tempat dikhalayak banyak.
Kelima, tempat yang mereka dapatkan dimasyarakat akan dimanfaatkan guna
memperjuangkan hak-hak para penyandang cacat di negeri ini yang masih
belum terpenuhi secara layak, Ar-Rasikhunaa fil 'ilmi, Wallahu a’lam.
[1]
Penulis merupakan Ketua Departemen Pendidikan dan Dakwah Pimpinan Pusat
Ikatan Pelajar Persis yang sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra
Arab , Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
[3]
Menurut informasi program, kamus ini mengacu pada KBBI daring (edisi
III) yang dikeluarkan secara resmi oleh pusat bahasa melalui website
resmi mereka http/pusatbahasa.diknas.go.id.
[4] Hadist riwayat Muslim no.2564 dalam bab al-birru, wa ash-shillah wa al-adab . maktabah syamilah
[5] Lihat tulisan KH. E Abdurrahman, recik-recik dakwah. Hal:67
[6]
makalah tentang hak penyandang cacat diranah ketenagakerjaan,
Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia dalam Badan Pembinaan Hukum
Nasional. Bphn.go.id. hal:1
[7] Lembaran negara republic Indonesia, UU RI Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Ngada.org
[8] Lihat Undang-undang RI No.20 Tahun 2003tentang sistem pendidikan nasional
[9]
Sebetulnya pemerintah telah mengakomodir pendidikan bagi penyandang
cacat dengan klasifikasi kecacatan dari para penyandang cacat itu
sendiri. Namun keberadaannya lewat SLB-SLB yang ada masih dirasa kurang,
selain belum terdapatnya SLB tersebut di daerah-daerah juga karena
belum ada pihak swasta yang melirik segmentasi pendidikan ini, maka
lebih dari cukup untuk menyimpulkan pendidikan bagi penyandang cacat
masih sulit didapatkan.
[10] Lihat akun twitter Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjadjaran :@Aku_Masuk_Unpad
[11]Lihat Ibnu Maskawaih dalam kitab Tahdzibul akhlak (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, menuju kesempurnaan akhlak).
[12] Kampus Jatinangor. kamis, 19 februari 2014
EmoticonEmoticon