Ilmu adalah elemen penting yang dibutuhkan otak, tanpa suplai ilmu
otak tidak akan melakukan kerja-kerja berfikirnya sebagai hewan yang
berfikir (hayawanun naatiq), maka wajar kemudian jika dalam
mencari ilmu dalam islam diwajibkan dari buaian hingga menuju liang
lahat. Al-Qur’an pun menjelaskan bahwa tidak sama orang yang mengetahui
(baca: mempunyai ilmu) dengan orang yang tidak mengetahui bahkan
meninggikan orang yang mempunyai ilmu beberapa derajat dibandingkan yang
lainnya (tentunya dengan dibarengi keimanan kepada Allah).
Selanjutnya
ilmu dalam Islam sendiri ibarat navigasi (penentu arah) guna menuju
kepada Allah swt. Maka tidak heran ketika Islam menentang sekularisme
(pemisahan antara dunia dan agama), karena tujuan dari mencari ilmu
dalam Islam ialah agar manusia –dengan hati yang jujur lagi tawadlu-
mampu melacak siapa sebenarnya penciptanya, apa tujuan ia diciptakan dan
kemana ia akan kembali setelah mati. Ilmu adalah rute terdekat menuju
Allah Swt, karena seorang ‘aalim (orang berilmu) yang mempunyai jiwa
kesatria ia akan memaklumi bahwa diantara para ‘aalim ada Al-‘aliim
(Yang Maha Mengetahui) yaitu Allah Swt.
Setali tiga uang, ilmu
selanjutnya akan mengantarkan pemiliknya pada kebaikan akhlak
dikarenakan sang pemiliki ilmu tahu bahwa terlalu banyak rahasia alam
yang ia tidak ia ketahui serta ia sadar bahwa ketidak tahuannya
mengharuskan ia menelusuri petunjuk Allah yang Maha Tahu dengan aturan
sempurna-Nya yang terangkum dalam Islam. Maka konklusi (kesimpulan) dari
proses pencarian ilmu tersebut ialah kebaikan akhlak dan penghambaan
kepada Allah Swt. Dan kesemua ini merupakan tujuan dari adanya proses
pendidikan dalam Islam; kepintaran yang berbikai integritas.
Dari
sini wajar jika selanjutnya peradaban Islam mampu mencapai masa jayanya
ketika ilmu dan iman “berpacaran” saling merindu, selalu mengusahakan
bertemu, berkorban tiada jemu. Hingga barat yang kini berkembang pesat
mengutuki masa kepecundangannya sendiri dengan menyebut masa tersebut
bagi barat sebagai dark age, zaman kegelapan. Hingga akhirnya
peradaban dunia Islam runtuh ditinggarai dengan “putus”nya ilmu dan iman
oleh tipu daya dunia yang menjerumuskan. Budaya ilmu sebagai alat
pelacak Allah beserta karunia-nya pun mulai meluntur sehingga kemunduran
tak lagi terelakan.
Mari kita renungkan hal apa yang penting dari
Adam as hingga malaikat dan iblis Allah perintahkan untuk
menghormatinya? Jawabanya ialah karena Adam as diberikan oleh Allah ilmu
berupa nama-nama yang malaikat pun tidak mampu menyebutkannya, disertai
keimanan dan ketaatan ia hidup dalam damai di surga-Nya bersama Hawa
pasangannya. Lalu sebaliknya apa yang selanjut membuat Adam as terhina
hingga ia diturunkan kedunia meninggalkan surga bahkan terpisah dari
hawa? Tidak lain karena ilmu dan imannya terhijab syahwat hingga
terhambat untuk taat.
Maka semestinya ilmu dan iman harus
senantiasa bersama dalam arti yang seutuhnya, bukan seperti sepatu yang
hanya berpasangan namun tak pernah bersatu, selalu melangkah atas dasar
kepentingan manusia, bukan atas kesadaran akan aturan Allah. Ilmu pun
jangan ia dibiarkan menjalani hubungan long distance relationship (hubungan
jarak jauh)dengan iman, bahkan ia harus lebih dekat dari lima langkah
terintegrasi dalam niat suci, menjadi wakil ilahi rabbi dimuka bumi.
Dari
sini tergambar oleh kita maksud para pendahulu kita menyatukan ilmu
agama dan ilmu pengetahuan umum yang sejatinya bagai dua sisi mata uang,
tak terpisahkan. Memadukannya dalam sebuah lembagai yang bervisi “thaaifah yufaqqihuuna fiddin”
bukan semata-mata untuk menentukan bid’ahnya tahlilalan - haramnya
berbagai bentuk syirik. Namun tujuan ini atas dasar warisan rumus yang
pernah diterapkan dizaman keemasan Islam. Maka tidak heran jika
pendidkan dengan konsep tersebut -jika dikelola dengan serius- akan
menghasilakn PELAJAR YANG CERDAS LUAR-DALAM. Modal keimanan sudah ada,
tinggal mencari pasangannya yang dulu hilang yaitu ilmu beserta budaya
ilmiah yang menuggu kembali dipersatukan dalam cinta, ditengah dunia
yang menjerit-jerit minta diusrusi.
Akankah warisan tersebut bisa
kembali pada ahli warisnya? Mampukah pelajar muslim sebagai penerus
perjuangan Islam menggapai kejayaan ilmu kembali? Atau zaman memang
sudah menempatkan umat Islam sebagai penonton saja? Hingga lembaga
pendidikan multi ilmu hanya sebatas indrusti pendidikan yang diserba
islamkan? Tantangan apa saja yang dihadapai umat muslim dalam menggapai
buadaya ilmu? Lalu bagaimana mengenai posisi ilmu, ilmu pengetahuan
hingga tujuan pendidikan dalam islam dalam tinjauan seorang pakar
pendidikan? Mampukah serang pelajar mencapai kecerdasan luar-dalam?
Hemat saya anda bisa menemukan jawabannya dalam acara ini, hadir dan ajak teman terbaikmu.
Oleh: Acheu Punamasari (santri Pesantren Persis 1 Bandung)
EmoticonEmoticon